Badai Byron meluluhlantakkan Gaza, sedikitnya 12 tewas dan puluhan tenda pengungsian roboh

Hujan deras dan angin kencang merobohkan bangunan serta tenda pengungsian, memicu korban jiwa di tengah suhu ekstrem.

By
Warga Palestina yang mengungsi menaiki gerobak yang ditarik keledai di jalan yang tergenang air hujan di Kota Gaza, 12 Desember 2025. / Reuters

Badai musim dingin hebat melanda Jalur Gaza menewaskan sedikitnya 12 warga Palestina, termasuk anak-anak. Hujan deras, suhu beku, dan angin kencang menyebabkan bangunan yang sebelumnya rusak akibat serangan runtuh, kamp pengungsian terendam banjir, serta membuat ribuan keluarga terpapar suhu dingin ekstrem, menurut otoritas Gaza dan sumber medis.

Kementerian Dalam Negeri Gaza pada Jumat mengatakan pihaknya mencatat 12 kejadian bangunan runtuh yang sebelumnya telah rusak akibat serangan Israel sejak badai mulai melanda pada Rabu. Insiden tersebut menyebabkan sedikitnya delapan orang tewas, termasuk anak-anak, serta melukai sejumlah warga lainnya.

Runtuhnya bangunan-bangunan itu dipicu hujan lebat disertai angin kencang.

Kementerian juga menyebut sejumlah orang masih dinyatakan hilang di bawah reruntuhan sebuah rumah yang roboh pada Jumat di lingkungan al-Karama, Kota Gaza, setelah diguyur hujan deras. Sejak Rabu, unit gawat darurat telah menerima lebih dari 4.300 panggilan bantuan dari warga di seluruh Gaza.

Tim Pertahanan Sipil dan kepolisian, dengan dukungan petugas kota, terus melakukan operasi penyelamatan “meski dengan kemampuan yang sangat terbatas dan peralatan yang sudah usang,” kata kementerian tersebut.

Tenda hancur, pengungsian makin parah

Secara terpisah, Kantor Media Gaza melaporkan badai dan gelombang udara dingin ekstrem menyebabkan 12 orang tewas atau hilang di seluruh wilayah Gaza akibat runtuhnya bangunan dan dampak badai.

Disebutkan sedikitnya 13 rumah roboh, terutama di kawasan al-Karama dan Sheikh Radwan, Kota Gaza. Tim Pertahanan Sipil masih terus merespons ratusan laporan darurat dari warga.

Kantor Media Gaza menambahkan lebih dari 27.000 tenda pengungsian terendam, terseret arus air, atau robek akibat angin kencang. Kondisi ini secara langsung berdampak pada lebih dari 250.000 warga Palestina yang mengungsi, setelah tempat tinggal mereka hancur atau rusak parah akibat hujan dan banjir.

Pertahanan Sipil Gaza juga melaporkan tim penyelamat di Kota Gaza menemukan jenazah seorang warga Palestina yang tewas setelah sebuah rumah roboh di lingkungan Sheikh Radwan. Hujan deras melemahkan struktur bangunan yang sebelumnya telah rusak.

Juru bicara lembaga tersebut, Mahmoud Basal, mengatakan tujuh warga Palestina sempat dilaporkan hilang di bawah puing-puing saat rumah itu runtuh.

Dalam insiden terpisah, seorang sumber keamanan menyebut sebuah bangunan yang sebelumnya rusak akibat serangan udara Israel runtuh di lingkungan al-Tuffah, Kota Gaza, akibat hujan deras. Tidak ada korban luka dalam kejadian tersebut.

Bangunan lain yang juga rusak akibat perang turut roboh di kota Beit Lahiya, Gaza utara, seiring badai yang semakin intens. Tidak ada korban jiwa dilaporkan dalam insiden ini.

Dengan perkembangan terbaru tersebut, jumlah bangunan yang sebelumnya rusak akibat pengeboman Israel dan kemudian runtuh akibat hujan meningkat menjadi 16.

Lima kematian terkait badai sebelumnya

Perkembangan pada Jumat ini menambah daftar lima kematian yang sebelumnya telah dikonfirmasi di Gaza.

Sebelumnya, sumber setempat melaporkan tiga warga Palestina tewas pada Jumat dalam insiden terpisah akibat runtuhnya bangunan karena badai. Dua bersaudara, Khader dan Khalil Iyhab Hanouna, meninggal setelah sebuah dinding roboh menimpa tenda mereka di pusat Kota Gaza akibat hujan deras.

Di Gaza utara, tim Pertahanan Sipil menemukan jenazah seorang warga Palestina lain setelah sebuah rumah runtuh di wilayah Beit Lahiya, Jabalia. Dua anak yang terluka berhasil diselamatkan, sementara pencarian terhadap kemungkinan korban lain masih berlangsung.

Secara terpisah, dua anak Palestina meninggal akibat dingin ekstrem di tempat pengungsian mereka di wilayah berbeda di Kota Gaza dan dinyatakan meninggal saat tiba di Rumah Sakit Al-Shifa, menurut sumber medis.

Korban pertama adalah Hadeel Hamdan (9), yang berlindung bersama keluarganya di sebuah sekolah yang dialihfungsikan menjadi pusat pengungsian. Di lokasi tersebut, para pengungsi menghadapi kondisi berat dan kekurangan alat pemanas.

Korban kedua adalah seorang bayi bernama Taym al-Khawaja, yang meninggal akibat dingin ekstrem saat tinggal bersama keluarganya di sisa rumah mereka yang telah rusak akibat serangan Israel, di kamp pengungsi Shati, barat Kota Gaza.

Dua kematian ini membuat jumlah anak yang meninggal akibat paparan dingin sejak badai mulai melanda pada Rabu meningkat menjadi tiga orang, setelah seorang bayi perempuan, Rahaf Abu Jazar, meninggal pada Kamis di Khan Younis ketika tenda keluarganya terendam air hujan.

Tiga bangunan lainnya juga roboh di wilayah barat Kota Gaza pada Kamis, saat hujan lebat dan banjir terus melanda wilayah tersebut.

Menurut Pertahanan Sipil, sekitar 250.000 keluarga saat ini hidup di kamp-kamp pengungsian di seluruh Gaza, banyak di antaranya menghadapi cuaca dingin dan genangan air di dalam tenda-tenda yang rapuh.

Meski gencatan senjata mulai berlaku pada 10 Oktober, kondisi kehidupan di Gaza belum menunjukkan perbaikan. Israel masih memberlakukan pembatasan ketat terhadap masuknya truk bantuan, yang dinilai melanggar protokol kemanusiaan dalam perjanjian tersebut.

Sejak Oktober 2023, Israel telah menewaskan lebih dari 70.000 warga Palestina—sebagian besar perempuan dan anak-anak—serta melukai lebih dari 171.000 orang lainnya dalam serangan di Gaza, yang terus berlanjut meski gencatan senjata diberlakukan.