Mengintip genosida Bosnia: ‘safari penembak jitu’ dan pembunuhan untuk kesenangan

Investigasi baru soal ‘safari penembak jitu’ mengungkap bagaimana genosida Bosnia menjadi ajang permainan bagi orang luar—dan mengapa keadilan baru datang puluhan tahun kemudian.

By Zeynep Conkar
Anak laki-laki itu berlari kencang sambil membawa anjingnya melintasi persimpangan pusat yang kerap dibidik penembak jitu di Sarajevo, 20 April 1995. / AP

Di tengah bayang-bayang salah satu pengepungan urban paling brutal di Eropa, sebuah investigasi baru yang mencekam kembali membuka luka lama.

Jaksa di Milan membuka penyelidikan atas dugaan bahwa selama pengepungan Sarajevo 1992–1996, orang-orang asing kaya—kebanyakan warga Italia—membayar untuk mengikuti “safari penembak jitu”, menembaki warga sipil tak bersenjata dari posisi Serbia Bosnia di perbukitan yang mengitari kota.

Meski kisah ini sudah lama diketahui para penyintas, peristiwa itu kembali menarik perhatian setelah sutradara Slovenia, Miran Zupanic, merilis film dokumenter pedas Sarajevo Safari pada 2022, yang memuat kesaksian tentang praktik mengerikan tersebut.

Menurut film itu—dan berkas yang kini diserahkan jurnalis Ezio Gavazzeni kepada jaksa—puluhan orang, bahkan mungkin hingga seratus, datang ke Bosnia bukan karena motif ideologis, melainkan kecanduan senjata dan sensasi maut.

Temuan ini menguatkan apa yang dikatakan penyintas selama puluhan tahun, ujar Albinko Hasic, pendiri BosnianHistory.com, platform yang mengulas sejarah Bosnia dan Herzegovina secara mendalam.

“Pengepungan Sarajevo bukanlah pertempuran antara dua kekuatan setara. Itu adalah kampanye teror sistematis terhadap warga sipil yang dikepung, diputus aksesnya, dan sengaja dijadikan sasaran,” kata Hasic kepada TRT World.

“Sarajevo mengalami pengepungan terpanjang terhadap sebuah ibu kota dalam sejarah modern. Ribuan orang tewas saat melakukan hal-hal sehari-hari: berjalan ke kantor, mengambil air, atau sekadar mencoba bertahan hidup,” lanjutnya.

Gavazzeni, yang mengajukan keluhan setebal 17 halaman di Milan, mengklaim bukti yang dia kumpulkan mencakup kesaksian perwira intelijen, laporan dari mantan wali kota Sarajevo Benjamina Karic, serta catatan arsip yang menunjukkan intelijen Bosnia pernah memperingatkan militer Italia pada 1993–1994.

Dugaan logistik perjalanan itu mengarah pada jaringan tertentu: para peserta berkumpul di Trieste, terbang ke Beograd dengan maskapai Yugoslavia Aviogenex, sebelum diantar ke perbukitan yang dikuasai Serbia untuk menembak dari sana.

Yang mungkin paling mengerikan: Gavazzeni menyebut ada “daftar harga” bagi korban manusia.

Dalam aduan tersebut disebutkan, menembak seorang anak harganya lebih mahal daripada menembak pria, dan pria lebih mahal daripada perempuan, sementara lansia bahkan bisa ditembak “gratis”.

Jumlah yang dibayar juga fantastis. Dalam nilai sekarang, peserta diduga mengeluarkan €80.000 (US$92.000) hingga €100.000 (US$115.000) untuk akhir pekan.

Menurut Hasic, apa yang kini dikenal sebagai ‘Sarajevo Safari’ mulai tersingkap melalui kesaksian penyintas, liputan perang, hingga bukti dokumenter.

“Sepanjang pengepungan, warga sering melihat orang asing tak dikenal di garis depan, sering membawa senjata canggih. Jurnalis saat itu pun mencatat kejadian ketika pengunjung diantar ke pos sniper yang menghadap kota,” ungkap Hasic.

Penilaian bersama terhadap bukti tersebut menunjukkan pola yang konsisten.

“Penyintas telah berkali-kali bersuara. Jurnalis mendokumentasikannya saat perang. Perwira intelijen mencatatnya. Dan investigasi terbaru menambah kesaksian serta dokumen. Masing-masing bukti mungkin tampak terpisah, tetapi jika digabungkan, semuanya saling menguatkan dan membentuk gambaran yang jelas,” jelasnya.

Pemboman tanpa henti

Genosida di Bosnia berlangsung melalui serangkaian kampanye sistematis di berbagai kota dan desa, dengan tujuan menghapus satu kelompok dari tanah mereka. Jatuhnya Srebrenica pada Juli 1995 menjadi simbol paling kelam dari kekejaman itu.

Dalam hitungan hari, lebih dari 8.000 pria dan anak laki-laki Muslim Bosniak dieksekusi setelah pasukan penjaga perdamaian Belanda kewalahan—pembunuhan massal terburuk di Eropa sejak Perang Dunia II.

Keluarga tercerai-berai, garis keturunan pria musnah, dan ribuan orang masih mencari jasad kerabat mereka hingga kini.

Namun Srebrenica hanyalah satu sisi dari genosida tersebut. Di seluruh Bosnia, warga terjebak dalam pengepungan, dipenjarakan di kamp-kamp, atau diusir seiring berjalannya proyek pembersihan etnis.

“Penting juga untuk memahami bahwa perang Bosnia tidak pernah benar-benar terisolasi dari dunia luar. Pejuang asing, tentara bayaran, dan oportunis dari berbagai negara turut masuk ke konflik,” ujar Hasic.

“Ada yang datang karena ideologi, ada karena uang, dan ada pula demi sensasi. Keterlibatan orang asing yang membayar untuk menembak warga sipil memang mengejutkan, tetapi sepenuhnya sejalan dengan kekacauan perang dan bagaimana pihak luar mengeksploitasinya,” tambahnya.

Pengepungan Sarajevo menjadi salah satu bab paling gelap. Hampir empat tahun, warga hidup di bawah bombardir dan tembakan sniper. Lebih dari 11.000 orang tewas, dan jalan seperti Mesa Selimovic Boulevard dikenal secara mengerikan sebagai ‘Sniper Alley’.

Dalam dunia teror harian seperti itu, gagasan bahwa turis asing membayar untuk membunuh membuka kembali luka bagi masyarakat yang masih dihantui trauma pengepungan.

Kini, dengan jaksa Milan resmi menyelidiki kasus ini di bawah tuduhan pembunuhan sukarela yang diperberat unsur kekejaman dan motif hina, muncul secercah harapan bagi para penyintas.

Sebagian percaya langkah ini bisa membawa akuntabilitas bagi mereka yang memperlakukan manusia layaknya buruan. Pembukaan kembali bab kelam ini juga menjadi kesempatan untuk mengingat dan memulihkan luka bersama.

“Investigasi Milan penting karena akhirnya menunjukkan kemauan untuk mengusut tindakan individu warga asing yang terlibat dalam kejahatan selama pengepungan,” kata Hasic.

“Begitu lama bagian cerita ini diabaikan.”

“Bagi penyintas, hal ini menandakan sesuatu yang lebih berarti: bahwa keadilan masih mungkin, bahkan setelah tiga dekade. Ini mengingatkan bahwa kejahatan terhadap warga sipil tidak hilang begitu saja hanya karena waktu berlalu atau benua memilih untuk melupakan.”

Dampaknya bagi Eropa, lanjutnya, lebih dalam lagi. “Selama puluhan tahun, perang Bosnia dipandang sebagai tragedi di pinggiran Eropa—sesuatu yang terjadi ‘di luar sana’.”

Menurut Hasic, penyelidikan ini meruntuhkan narasi itu.

“Jika warga negara Eropa benar-benar datang ke Sarajevo untuk membunuh warga sipil demi olahraga, maka Eropa bukanlah penonton jauh. Eropa terlibat. Eropa menjadi bagian dari masalah.”

Ia menekankan bahwa momen ini bisa mendorong pemerintah membuka kembali berkas-berkas lama, membuka arsip, dan memetakan sejauh mana jaringan keterlibatan tersebut.

Hal ini juga dapat memaksa Eropa menghadapi prasangka dan dehumanisasi yang membentuk keputusan perang mereka—termasuk keputusan-keputusan yang membuat warga sipil dibiarkan tanpa perlindungan.