China kecam kekerasan terhadap warga sipil di Sudan, desak diakhirinya konflik

Beijing berharap konflik segera berakhir, proses politik dapat dilanjutkan, serta perdamaian dan stabilitas segera pulih di negara Afrika Utara itu.

Lebih dari 62.000 orang mengungsi setelah RSF mengambil alih Al Fasher, ibu kota negara bagian Darfur Utara di Sudan.

China mengecam kekerasan terhadap warga sipil di Sudan setelah pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) menguasai kota Al Fasher di negara bagian Darfur Utara dan melakukan pembantaian terhadap warga sipil.

Beijing “mengikuti perkembangan situasi di Sudan dengan cermat dan mengecam tindakan terhadap warga sipil,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, kepada wartawan di Beijing pada Senin.

Mao menyatakan bahwa China berharap “Sudan dapat segera mengakhiri konflik, meredakan krisis kemanusiaan, melanjutkan proses politik secepatnya, serta memulihkan perdamaian, stabilitas, dan pembangunan.”

Pada 26 Oktober, RSF mengambil alih kendali atas kota Al Fasher dan melakukan pembantaian terhadap warga sipil, menurut laporan organisasi lokal dan internasional. Penguasaan kota itu menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya pembelahan Sudan secara de facto antara wilayah timur dan barat.

Tak lama kemudian, pemimpin RSF Mohamed Hamdan Dagalo, yang dikenal luas dengan julukan “Hemedti”, mengakui bahwa pasukannya telah melakukan “pelanggaran” di Al Fasher dan menyebut komite penyelidikan telah dibentuk.

Sejak 15 April 2023, tentara Sudan dan RSF terlibat dalam perang yang hingga kini gagal diakhiri meski telah dilakukan berbagai upaya mediasi regional dan internasional.

Menurut laporan PBB dan sumber lokal, konflik tersebut telah menewaskan sekitar 20.000 orang serta membuat lebih dari 15 juta lainnya mengungsi dan kehilangan tempat tinggal.