Warga Suriah rayakan kunjungan Ahmed al Sharaa ke Gedung Putih dengan sorak, bendera, dan tari dabke
Dengan melambaikan bendera dan menari dabke, warga Suriah merayakan kunjungan Presiden Ahmed al Sharaa ke Gedung Putih — yang menjadi kunjungan pertama oleh pemimpin Suriah sejak negara itu merdeka dari Prancis pada 1946.
Washington DC — Selama berminggu-minggu, komunitas Suriah di Amerika Serikat telah menyiapkan penyambutan untuk momen bersejarah ini.
Dan pada Senin, ketika Ahmed al Sharaa menjadi presiden Suriah pertama yang berkunjung ke Gedung Putih sejak kemerdekaan negaranya dari Prancis pada 1946, perayaan pun pecah di luar salah satu kediaman paling penting di dunia.
Kerumunan yang bersorak gembira melambaikan bendera, menyanyikan lagu kemenangan, dan menarikan dabke khas Levant untuk menandai apa yang mereka sebut sebagai “momen penting” bagi negara Arab yang telah dilanda perang saudara selama sekitar 14 tahun.
“Ini pertama kalinya seorang presiden Suriah diterima secara resmi dengan kapasitas penuh di Gedung Putih. Itu sendiri sudah merupakan pencapaian besar,” kata Hussein Assaf, seorang pengusaha Suriah yang datang jauh-jauh dari South Carolina, kepada TRT World. “Kami ingin memberi tahu dunia bahwa kami mendukungnya [Presiden al Sharaa].”
Assaf mengatakan bahwa perjuangan panjang melawan rezim Bashar al Assad “akhirnya memungkinkan kami melahirkan seorang presiden yang benar-benar mewakili rakyat.”
“Ia mewakili kami, dan kami ingin ia tahu bahwa ia memiliki dukungan serta kepercayaan kami,” ujarnya.
Al Sharaa bertemu dengan Presiden AS Donald Trump dalam pertemuan tertutup di Gedung Putih yang tidak diakses oleh media.
Namun, ratusan warga Suriah yang bersorak dengan membawa poster dan bendera raksasa berhasil sekilas melihat pemimpin mereka saat ia meninggalkan Gedung Putih.
Pertemuan kedua pemimpin itu langsung menghasilkan langkah penting: AS mengumumkan penangguhan sanksi Caesar Act selama 180 hari terhadap Suriah.
Sanksi yang diberlakukan sejak 2019 terhadap rezim Assad itu telah menekan ekonomi negara tersebut dengan sangat berat.
Meskipun pemerintahan Trump sebelumnya telah mengeluarkan perintah eksekutif untuk mencabut sanksi terhadap Suriah, Kongres AS tetap harus memberikan persetujuan untuk membatalkan undang-undang yang oleh banyak warga Suriah dianggap “tidak adil” itu. Sanksi AS terhadap Suriah sendiri sudah dimulai sejak 1970-an, dengan tambahan sanksi diberlakukan pada 2004 dan 2011.
‘Cabut semua sanksi’
Bagi banyak warga yang hadir, penangguhan ini hanyalah langkah awal.
“Rakyat Suriah bisa membangun kembali negaranya dari nol, tapi sangat penting bagi Amerika Serikat untuk mencabut semua sanksi,” kata Noura Soufan, pengusaha sekaligus aktivis yang datang dari Maryland untuk melihat presiden Suriah itu.
Sejak menggulingkan rezim Assad pada Desember lalu, Sharaa telah melakukan serangkaian kunjungan luar negeri sebagai bagian dari upaya pemerintah transisionalnya untuk memulihkan hubungan dengan kekuatan global yang sebelumnya menjauhi Damaskus.
Presiden al Sharaa, yang memimpin pemerintahan transisi setelah jatuhnya rezim Assad, tengah mencari dukungan dana internasional untuk rekonstruksi Suriah. Ia memperkirakan biaya pembangunan kembali negara yang hancur akibat perang mencapai antara US$600 hingga US$900 miliar, sementara World Bank memperkirakan kebutuhan minimal lebih dari US$200 miliar.
Ia juga berupaya mendapatkan bantuan dana dari AS untuk membangun kembali negaranya, yang menghadapi tantangan besar setelah perang menghancurkan, menewaskan setengah juta orang, dan membuat jutaan lainnya mengungsi.
Ramy Arwani, seorang dokter asal Suriah yang kini tinggal di Michigan, menyampaikan harapan komunitasnya.
“Kami telah merayakan kebebasan selama 11 bulan terakhir setelah 60 tahun tirani. Jadi, kami sangat berharap pertemuan dengan Presiden Trump hari ini akan membawa banyak kebaikan bagi Suriah,” ujarnya kepada TRT World.
“Kami berharap semua sanksi AS terhadap Suriah dicabut,” tambahnya, sambil menekankan bahwa warga Suriah-Amerika dan para investor global siap membantu rekonstruksi begitu hambatan finansial dihapus.
‘Saya akan pulang ke Damaskus’
Pada Minggu sebelumnya, Presiden al Sharaa bertemu dengan anggota komunitas Suriah di Washington, DC.
“Berbagai pencapaian yang diraih selama periode ini, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, menunjukkan tekad negara dan rakyatnya untuk terus maju dalam membangun kembali dan mengatasi tantangan,” kata Sharaa dalam pertemuan yang juga dihadiri oleh Menteri Luar Negeri Suriah Asaad al-Shaibani dan Utusan Khusus AS Tom Barrack.
Al Sharaa menegaskan pentingnya ikatan warga Suriah dengan tanah air mereka, serta peran diaspora dalam menyampaikan citra sejati Suriah dan membela kepentingannya di luar negeri.
Bagi warga Suriah-Amerika seperti Soufan, pesan persatuan nasional yang dibawa presiden baru itu telah menggantikan rasa ragu menjadi keyakinan.
“Ia selalu berkata, ‘Kita bukan sekte, kita satu kesatuan,’” ujar Soufan, menambahkan bahwa pidato-pidatonya yang tegas dan penuh percaya diri membuatnya yakin pada arah kepemimpinan baru tersebut.
Terinspirasi oleh kedamaian yang mulai tumbuh di bawah pemerintahannya, Soufan kini berencana kembali ke tanah air yang ia tinggalkan sejak 1996, bersama putrinya yang berusia 25 tahun — yang belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di Suriah.
“Saya akan pulang ke Damaskus,” katanya.