Mengenang legenda Kekaisaran Utsmani, Fahreddin Pasha, pembela heroik Madinah
Bahkan 77 tahun setelah kematiannya, warisan Fahreddin Pasha terus melambangkan penjagaan Kekaisaran Ottoman selama berabad-abad atas kota-kota suci Islam.
Selama empat abad, Kekaisaran Utsmaniyah menjadi penjaga Kota-kota Suci Islam.
Madinah — tempat Nabi Muhammad tinggal, memimpin, dan dimakamkan — adalah benteng suci terakhir yang berada di bawah perlindungan Utsmaniyah.
Pertahanan kota di bawah gubernur Utsmaniyah Fahreddin Pasha hingga hari ini menjadi bukti kesetiaan dan pengabdian mendalam bangsa Türkiye kepada Islam dan tanah-tanah suci umat Muslim.
Lahir pada 1868 di Ruse, yang kini berada di Bulgaria, Fahreddin Pasha dan keluarganya pindah ke Istanbul saat ia berusia sepuluh tahun.
Awalnya bernama Omer, ia kemudian mengadopsi nama keluarga 'Turkkan' ketika kariernya di militer Utsmaniyah menanjak setelah menyelesaikan Akademi Militer pada 1888 dan Sekolah Pertahanan elit pada 1891.
Ia menonjol dalam Perang Balkan dan, saat Perang Dunia I, memimpin Korps ke-12 di Mosul.
Namun nasibnya justru ditentukan bukan di front Eropa, melainkan di padang pasir Hijaz.
Pada 1916, intelijen mengungkap bahwa Syarif Hussein, penguasa Mekah saat itu, telah mencapai kesepakatan rahasia dengan Inggris dan sedang mempersiapkan pemberontakan.
Sudah diketahui luas bahwa Inggris berusaha menggulingkan Kekaisaran Utsmaniyah dan telah menjanjikan kepada Syarif pembentukan negara Arab yang merdeka dari kekuasaan Utsmaniyah.
Fahreddin Pasha dikirim ke Madinah pada 28 Mei 1916 untuk melindungi kota tersebut. Beberapa hari kemudian pemberontakan meletus: jalur telegraf dan rel kereta sabotase, dan pasukan pemberontak menyerang pos-pos Utsmaniyah. Namun pertahanan Pasha bertahan.
Kelompok tentara Utsmaniyah pimpinan Fahreddin Pasha yang berjumlah sekitar 15.000 orang kalah banyak dibandingkan kekuatan pemberontak sekitar 50.000, tetapi ia mengambil inisiatif menyerang lawan — melancarkan serangan balasan cepat dan memenangkan beberapa pertempuran.
Dengan jalur pasokan terputus dan suku-suku Badui berpindah kesetiaan kepada Syarif Hussein, Madinah berubah menjadi sebuah pulau perlawanan.
Meskipun jatuhnya Jeddah, Mekah, dan Taif membuat Madinah terisolasi, Pasha dan para prajurit pemberani memastikan kota suci tetap berada di bawah bendera Utsmaniyah.
Pihak Inggris menamainya 'Macan Gurun'.
Mata-mata Inggris T. E. Lawrence, yang kemudian dikenal sebagai Lawrence of Arabia, memimpin dan mengawasi operasi sabotase di sepanjang jalur kereta yang pada akhirnya sepenuhnya mengisolasi kota itu.
Walau beberapa penduduk setempat ditipu sehingga berpihak kepada Inggris, mayoritas suku tetap setia kepada komandan Utsmaniyah.
Pertahanan Madinah — dua tahun tujuh bulan pengepungan, kelaparan, kekurangan dan wabah penyakit — menjadi salah satu perlawanan heroik terakhir Kekaisaran Utsmaniyah.
Pasha bahkan membandingkan belalang dengan “burung pipit tanpa bulu” supaya pasukan Turkinya bersedia mengonsumsinya seperti penduduk setempat, karena takut kelaparan.
Pengabdian dan cinta kepada Nabi
Selain daya tahan militer, yang membedakan Fahreddin Pasha di Madinah adalah pengabdian spiritualnya, kesetiaan, dan cintanya kepada Nabi.
Profesor Süleyman Beyoglu dari Universitas Yeditepe di Istanbul dan penulis buku Defence of Medina and Fahreddin Pasha merujuk pada sebuah kesaksian luar biasa tahun 1919 dari Galip Ata Atac, kepala dokter rumah sakit Madinah, yang menggambarkan betapa dalamnya penghormatan Fahreddin Pasha terhadap Madinah.
“Perhatian dan pengabdian yang ditunjukkannya terhadap Haram al-Sharif mungkin tidak diberikan kepada siapa pun sebelum dia,” kata Profesor Beyoglu kepada TRT World, merujuk pada salah satu dari tiga tempat tersuci dalam Islam yang terletak di Madinah.
“Di bawah penjagaan teliti Pasha, Haram al-Sharif memperoleh sinar baru, bahkan dari segi material.”
Meskipun memimpin di bawah kondisi pengepungan, kelelahan, dan keterasingan, Pasha tak pernah mengabaikan kesucian Masjid Nabawi.
“Meski beban yang dipikulnya sangat besar, tidak ada sehari pun berlalu tanpa dia mengawasi penghormatan yang layak kepada Kamar Suci. Setiap kali Ruang Nabi dibersihkan, Fahreddin Pasha sendiri ikut dalam pelayanannya.”
Penghormatan ini berpuncak pada sebuah momen yang sejak itu menjadi ingatan ikonik bagi bangsa Türkiye.
“Pada hari terakhir pengepungan Madinah, ketika ia diberhentikan dari komando, Fahreddin Pasha sekali lagi pergi ke Haram al-Sharif… dan dari sanalah ia dibawa dengan paksa.”
Profesor Beyoglu menekankan bahwa pertahanan Madinah bukan sekadar pertempuran bagi sang gubernur Utsmaniyah — itu adalah amanah suci bagi Pasha, yang menolak memberi akses kepada Inggris ke tanah suci dan makam Nabi.
Penolakan untuk menyerah
Bahkan setelah penandatanganan Gencatan Senjata Mudros pada 30 Oktober 1918, yang mewajibkan semua garnisun Utsmaniyah menyerah, Fahreddin Pasha menolak.
Pasha terus mempertahankan kota itu selama 72 hari lagi. Ia akhirnya ditangkap pada 10 Januari 1919 dan diasingkan oleh Inggris, pertama ke Mesir, lalu ke Malta selama dua tahun, di mana ia menolak melepas seragam militer Utsmaniyahnya.
Sebuah pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepadanya, tetapi tekanan diplomatik Türkiye berhasil mengamankan pembebasannya pada April 1921.
Warisan yang terukir dalam kehormatan
Setelah menghadiri pertemuan politik di Moskow, Fahreddin Pasha kembali ke Türkiye pada masa perjuangan nasional Türkiye.
Pada 9 November 1921, Majelis Nasional Agung Türkiye menunjuknya sebagai duta besar untuk Kabul. Ia berperan penting dalam memperkuat hubungan Türkiye-Afganistan sebelum pensiun dengan pangkat mayor jenderal pada 1936.
Ia wafat pada 22 November 1948.
“Pertahanan Madinah oleh Fahreddin Pasha lebih dari sekadar sikap militer. Itu adalah ekspresi terakhir dari empat ratus tahun Kekaisaran Utsmaniyah sebagai penjaga kota-kota suci — dan cerminan penghormatan yang terus-menerus dari bangsa Türkiye terhadap tempat kelahiran Islam,” tambah Profesor Beyoglu.
Namanya tetap hidup bukan hanya dalam catatan militer tetapi juga dalam memori spiritual sebuah bangsa.
Ia adalah seorang komandan yang, bahkan di saat-saat tergelap perang, melayani makam Nabi dan kota suci bukan hanya dengan pedang, tetapi dengan hati dan jiwanya.
Tulisan pada batu nisannya mencerminkan keyakinannya — 'Pembela heroik Madinah'.