Banjir Sumatera picu 'ancaman kepunahan' orangutan Tapanuli

Kalangan konservasionis memperingatkan banjir bandang di wilayah Batang Toru, Sumatera Utara, berpotensi menghapus hingga 11 persen populasi orangutan Tapanuli yang berstatus kritis.

By
Seekor orangutan liar Sumatera bergelantungan di pohon di Stasiun Penelitian Soraya di Kawasan Ekosistem Leuser, Subulussalam. / Reuters

Banjir mematikan yang melanda sejumlah wilayah di Indonesia dinilai menjadi “gangguan setingkat kepunahan” bagi orangutan Tapanuli yang terancam punah. Para ilmuwan memperingatkan, bencana ini menyebabkan kerusakan besar pada habitat sekaligus memperkecil peluang hidup spesies langka tersebut.

Orangutan Tapanuli baru diakui secara ilmiah sebagai spesies tersendiri pada 2017. Satwa ini termasuk yang paling langka di dunia, dengan populasi diperkirakan kurang dari 800 ekor dan hanya mendiami kawasan terbatas di sebagian Sumatera.

Satu individu orangutan Tapanuli yang diduga mati telah ditemukan di wilayah terdampak, demikian disampaikan pegiat konservasi kepada AFP.

“Kehilangan satu orangutan saja sudah menjadi pukulan telak bagi kelangsungan hidup spesies ini,” kata Panut Hadisiswoyo, pendiri sekaligus ketua Orangutan Information Centre (OIC) Indonesia.

Berdasarkan analisis citra satelit yang dipadukan dengan data sebaran habitat orangutan Tapanuli, banjir besar yang terjadi bulan lalu—dan menewaskan hampir 1.000 orang—diduga kuat turut menghancurkan kehidupan satwa liar di kawasan Batang Toru.

Para peneliti menaruh perhatian khusus pada kawasan West Block, wilayah terpadat dari tiga habitat orangutan Tapanuli yang diketahui, dengan estimasi populasi sekitar 581 individu sebelum bencana terjadi.

Di kawasan tersebut, “kami memperkirakan antara enam hingga 11 persen orangutan kemungkinan besar tewas,” ujar Erik Meijaard, konservasionis orangutan yang telah lama meneliti spesies ini.

“Jika tingkat kematian orangutan dewasa melampaui satu persen saja, itu sudah cukup untuk mendorong spesies ini menuju kepunahan, tanpa memandang besarnya populasi awal,” katanya kepada AFP.

Meijaard menambahkan, populasi orangutan Tapanuli yang sejak awal sangat kecil serta wilayah jelajahnya yang sempit membuat mereka jauh lebih rentan terhadap gangguan besar.

Foto dari satelit memperlihatkan kerusakan masif di kawasan pegunungan, berupa sayatan-sayatan besar di lanskap yang sebagian membentang lebih dari satu kilometer dengan lebar hampir 100 meter, jelas Meijaard.

Arus lumpur, pepohonan, dan air yang meluncur dari lereng perbukitan diduga menyeret apa pun yang dilewatinya, termasuk satwa lain seperti gajah.

David Gaveau, pakar penginderaan jauh sekaligus pendiri rintisan konservasi The Tree Map, mengaku terkejut melihat perbandingan kondisi kawasan tersebut sebelum dan sesudah bencana.

“Selama 20 tahun memantau deforestasi di Indonesia lewat foto dari satelit, saya belum pernah melihat kerusakan seperti ini,” ujarnya kepada AFP.

‘Rapuh dan sensitif’

Kerusakan parah akibat banjir membuat orangutan Tapanuli yang tersisa kian rentan, setelah sumber pakan dan tempat berlindung mereka banyak yang hilang tersapu air dan longsor.

Kelompok ilmuwan memperkirakan lebih dari sembilan persen habitat di West Block kemungkinan telah rusak atau hancur.

Dalam draf makalah yang dibagikan kepada AFP dan dijadwalkan terbit sebagai pra-cetak dalam waktu dekat, para peneliti menegaskan bahwa banjir ini merupakan “gangguan setingkat kepunahan” bagi orangutan Tapanuli.

Selama bertahun-tahun, pegiat lingkungan telah menyuarakan penolakan terhadap aktivitas industri di Batang Toru, khususnya proyek bendungan pembangkit listrik tenaga air dan pertambangan emas.

Kawasan dataran tinggi yang kini ditempati orangutan Tapanuli sejatinya bukan habitat ideal mereka, melainkan wilayah yang tersisa setelah tekanan pembangunan di daerah lain.

Awal bulan ini, pemerintah menyatakan bahwa keberadaan perkebunan industri, proyek PLTA, dan aktivitas pertambangan emas di kawasan tersebut telah “berkontribusi signifikan terhadap tekanan lingkungan”.

Pemerintah pun mengumumkan penangguhan sementara izin operasi seluruh proyek di wilayah itu sambil menunggu hasil evaluasi.

Pemerintah dan kalangan pegiat lingkungan juga sepakat bahwa deforestasi turut memperparah dampak banjir yang terjadi.

Sebuah studi yang dipublikasikan Kamis lalu menyebut hujan ekstrem yang dipicu krisis iklim serta suhu laut yang lebih hangat—yang dapat memperkuat badai—ikut berperan dalam bencana tersebut.

Para ahli orangutan mendesak penghentian segera seluruh pembangunan yang berpotensi merusak sisa habitat orangutan Tapanuli, serta meminta dilakukan survei menyeluruh di kawasan terdampak.

Mereka juga mendorong perluasan kawasan lindung serta upaya pemulihan hutan dataran rendah.

Panut mengatakan kawasan tersebut kini terasa sunyi pascabencana longsor yang menyapu wilayah itu.

“Habitat yang rapuh dan sensitif di West Block ini harus dilindungi sepenuhnya dengan menghentikan semua bentuk pembangunan yang merusak habitat,” katanya kepada AFP.