Menjelang Hari Internasional untuk Mengakhiri Impunitas atas Kejahatan terhadap Jurnalis yang diperingati setiap 2 November, PBB kembali mengingatkan bahaya besar yang dihadapi para jurnalis di seluruh dunia—terutama di Jalur Gaza.
“Hampir sembilan dari sepuluh kasus pembunuhan jurnalis tidak pernah terpecahkan. Gaza telah menjadi tempat paling mematikan bagi jurnalis dalam sejarah konflik mana pun,” kata juru bicara Sekretaris Jenderal PBB, Stephane Dujarric.
Ia menambahkan, Sekretaris Jenderal Antonio Guterres menyerukan penyelidikan yang “independen dan tidak memihak” atas pembunuhan para jurnalis di wilayah konflik. “Impunitas adalah serangan terhadap kebebasan pers dan ancaman terhadap demokrasi itu sendiri,” ujar Dujarric.
“Ketika jurnalis dibungkam, kita semua kehilangan suara,” tambahnya.
Menurut data Kantor HAM PBB, sedikitnya 248 jurnalis telah tewas di Gaza sejak 7 Oktober 2023—angka tertinggi dibandingkan konflik lain dalam sejarah modern.
Namun, Kantor Media Pemerintah Gaza mencatat jumlah jurnalis Palestina yang tewas sejak perang pecah mencapai 256 orang.
Krisis kesehatan Gaza kian parah
Dujarric juga menyoroti situasi kemanusiaan di Gaza yang terus memburuk. Ia mengatakan, operasi bantuan masih berjalan meski ada laporan serangan udara baru Israel di sejumlah wilayah.
“Menurut sumber lokal, serangan itu menyebabkan korban jiwa. Kami kembali menegaskan bahwa semua pihak harus menahan diri dari tindakan yang membahayakan warga sipil, termasuk pekerja kemanusiaan,” ujarnya.
Ia menambahkan, sistem kesehatan Gaza kini hampir lumpuh total dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar jutaan warga.
“Sistem kesehatan Gaza menghadapi tantangan besar dalam menangani kebutuhan luar biasa masyarakat,” kata Dujarric.
Mengutip data Kementerian Kesehatan Gaza, lebih dari 1.700 tenaga kesehatan telah tewas sejak perang pecah pada Oktober 2023.
Sementara itu, gencatan senjata yang didasarkan pada rencana 20 poin Presiden AS Donald Trump disebut masih berlaku, meski Israel dilaporkan telah beberapa kali melanggarnya.
