‘Dreaming of electric sheep’: Refik Anadol, seniman yang mengubah data menjadi tontonan global
Refik Anadol menggunakan AI untuk memanfaatkan data dan menciptakan seni digital. [Kredit: Studio Refik Anadol]
‘Dreaming of electric sheep’: Refik Anadol, seniman yang mengubah data menjadi tontonan global
Karya-karya berbasis data ciptaannya mendefinisikan ulang seni kontemporer, dengan kecerdasan buatan diperlakukan bukan sekadar alat, melainkan kolaborator kreatif yang membentuk cara jutaan orang memaknai budaya, ingatan, dan alam.
5 jam yang lalu

Seniman Türkiye-Amerika Refik Anadol menikmati tingkat ketenaran yang setara dengan bintang rock. Namanya dikenal luas, baik di negara asalnya maupun di kancah seni internasional.

Anadol—seniman yang sangat produktif—mulai mencuri perhatian ketika ia menggunakan kode untuk menciptakan visualisasi yang bersumber dari kumpulan data raksasa, yang diproses melalui algoritma AI generatif.

“Saya mengeksplorasi pembelajaran mesin sebagai kolaborator artistik sejak 2016, dimulai dari residensi saya di program Artists and Machine Intelligence (AMI) milik Google,” ujar Anadol kepada TRT World.

“Di situlah saya mulai mengembangkan konsep AI Data Paintings dan AI Data Sculptures.

Karyanya telah dipamerkan di berbagai museum, termasuk Museum of Modern Art (MoMA) di New York, yang memasukkan Unsupervised — Machine Hallucinations ke dalam koleksi permanennya, serta Istanbul Modern, tempat ia menampilkan karya yang bergelombang layaknya laut, terinspirasi arus Selat Bosphorus.

Pameran tunggalnya Machine Memoirs: Space di Pilevneli Dolapdere, Istanbul, pada musim semi 2021, menarik jumlah pengunjung yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di tengah pandemi, antrean pengunjung mengular hingga ke jalan raya.

Sebelumnya, Anadol memamerkan Melting Memories di Pilevneli Dolapdere pada 2018, setelah lebih dulu menampilkan Sceptical Interventions di Pilevneli Project pada 2012.

AI ‘memperluas kreativitas manusia’

Pada Agustus 2025, Anadol terpilih sebagai salah satu dari 100 pelopor AI versi majalah TIME dalam kategori Innovators.

TIME tak hanya menampilkan Anadol bersama tokoh-tokoh lain, tetapi juga memintanya merancang sampul edisi tersebut.

Untuk proyek itu, Anadol menggunakan puluhan tahun sampul TIME sebagai kumpulan data.

“TIME menyediakan lebih dari 5.000 sampul lama, yang memungkinkan AI Anadol membayangkan ulang seperti apa sampul edisi TIME100 AI,” jelas majalah tersebut.

Anadol mengatakan kepada TRT World bahwa ia merasa “sangat bersyukur… dan rendah hati” atas pengalaman itu.

“Lebih dari pengakuan pribadi, yang terpenting bagi saya adalah makna momen ini: bahwa kita bisa membahas AI bukan hanya lewat ketakutan atau sensasi, tetapi melalui budaya, imajinasi, dan harapan.”

Anadol kerap disebut sebagai seniman digital atau AI. Namun pada dasarnya, ia lebih dekat dengan tradisi seni konseptual ketimbang pengguna AI kasual yang sekadar merangkai prompt untuk menghasilkan gambar buatan komputer.

Ia dapat disebut seniman konseptual karena meski karya terbarunya sekilas menyerupai karya-karya sebelumnya, gagasan di baliknya berbeda.

Seperti kebanyakan seni konseptual, wujud fisik—atau dalam hal ini, visual digital di layar—akan lebih bermakna ketika penonton memahami pemikiran di baliknya.

Untuk karya Istanbul Modern pada 2023, Infinity Room: Bosphorus, ia memilih menggunakan beragam arus di selat tersebut sebagai sumber data.

Gagasannya berangkat dari kesadaran bahwa Bosphorus “bukan sekadar jalur geografis, melainkan sistem hidup—arus, angin, dan aliran tak kasatmata yang terus membentuk kota,” kata Anadol kepada TRT World.

“Saya ingin menciptakan pengalaman di mana orang bisa merasakan kekuatan-kekuatan tak terlihat itu, bukan sebagai bagan ilmiah, melainkan realitas emosional yang imersif.”

Tujuannya, kata Anadol, agar pengunjung pulang dengan kesadaran baru: bahwa kota ini hidup, dan manusia mengalir di dalam ritmenya.

Sementara itu, karyanya di MoMA berjudul Unsupervised, yang dipamerkan pada 19 November 2022 hingga 15 April 2023, membayangkan ulang berabad-abad karya seni dalam koleksi museum untuk menghasilkan “halusinasi” digital.

Kritikus Ben Davis menyebutnya secara sinis sebagai “lava lamp yang sangat cerdas”, merujuk pada layar raksasa beresolusi tinggi yang menampilkan gambar abstrak yang terus berubah secara hipnotis.

Menurut Davis, gerakan visual karya Anadol mirip versi canggih lampu lava, dengan gumpalan lilin berwarna cerah yang mengambang dalam cairan.

Anadol menanggapi santai. Ia mengaku menangkap candaan itu dan balik bergurau: “karya ini memang tak terbantahkan memukau!” Ia menegaskan bahwa keindahan dan aksesibilitas bukanlah kelemahan, melainkan “undangan untuk berdialog”.

Dilatih dengan koleksi MoMA, Unsupervised menjadi karya seni AI generatif pertama yang diakuisisi museum tersebut. Anadol mengatakan kepada TRT World bahwa hampir tiga juta orang telah mengunjunginya—“tingkat keterlibatan yang bersejarah”.

“Jika seseorang ingin berhenti pada keindahannya saja, itu tidak masalah. Namun jika melihat lebih dalam, karya ini adalah meditasi tentang ‘kuas yang berpikir’—bagaimana masa depan kreativitas dibentuk ulang oleh algoritma.”

Pembelajaran mesin sebagai ‘kolaborator artistik’

Menurut Anadol, “evolusi paling mendalam dari eksperimen awal hingga sekarang adalah pergeseran dalam kontrol, niat, dan tanggung jawab.”

Ia mengaku pada awalnya hanya mengikuti rasa ingin tahu: “Kami mencoba memahami apakah mesin bisa ‘bermimpi’—mempelajari bahasa laten jaringan saraf untuk melihat estetika apa yang mungkin muncul.”

Kini, praktiknya berkembang menjadi pembangunan sistem khusus, pelatihan model sendiri, serta penetapan etika yang ketat: bagaimana data dikumpulkan, didokumentasikan, dan dibuat transparan.

Ia merangkum pergeseran pendekatannya dengan sederhana: “Saya berpindah dari sekadar ‘menggunakan alat AI’ menjadi ‘membangun dunia di mana AI dapat berkolaborasi secara bermakna dengan imajinasi manusia’.”

Bunga endemik

Karya terbarunya di Istanbul, Large Nature Model: Türkiye – Flora, dibuat untuk sebuah bank Türkiye dan bertumpu pada koleksi bunga yang mekar di berbagai wilayah Türkiye.

Anadol mengatakan kepada TRT World bahwa ia “sangat bangga” dengan karya yang dibuka sebagai instalasi permanen di Museum Lukisan dan Patung İş Bankası pada September 2025 tersebut, yang mengangkat “sesuatu yang rapuh dan berharga: keanekaragaman hayati”.

Proyek ini, katanya, berangkat dari keinginan menciptakan “monumen digital bagi alam”. Ia melakukan riset lapangan ekstensif di 33 taman nasional, dengan fokus pada spesies endemik Türkiye yang tak ditemukan di tempat lain di dunia.

Ia memilih bunga karena “berada di persimpangan sains, budaya, dan emosi”.

“Semua orang memahami bunga secara intuitif, tetapi sedikit yang menyadari betapa banyak spesies yang diam-diam menghilang,” ujarnya.

“Kami ingin menciptakan pengalaman yang memukau sekaligus edukatif; di samping karya seni, kami menampilkan metode pengumpulan data yang etis serta ‘Ensiklopedia Hidup’ untuk menghubungkan kekaguman estetis dengan pengetahuan dunia nyata.”

Kata “kami” yang kerap ia gunakan bukanlah basa-basi. Anadol menegaskan bahwa ada tim besar di balik karyanya: “Ini tidak pernah hanya tentang saya. Karya-karya ini dibangun bersama tim luar biasa di Refik Anadol Studio, istri sekaligus partner saya Efsun, serta para kolaborator,” katanya.

Dataland: museum AI pertama di dunia

Namanya mengingatkan pada Disneyland—keduanya sama-sama berada di Los Angeles. Dataland, museum seni AI pertama di dunia, dijadwalkan dibuka pada musim semi 2026 di kompleks The Grand LA rancangan arsitek Frank Gehry.

Anadol menyebutnya sebagai “karya hidup saya dan mimpi jangka panjang”.

“Dataland bukan sekadar ruang pamer karya jadi; ini adalah institusi hidup yang didedikasikan untuk riset, pendidikan, dan eksperimen etis,” katanya kepada TRT World. “Kami membangunnya sebagai rumah bagi Large Nature Model, tempat visualisasi data bertemu AI yang berfokus pada alam.”

Menurut Anadol, AI tengah membentuk ulang dunia kerja, kebenaran, dan ekologi pada skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Karena itu, ia meyakini perlunya institusi fisik tempat orang bisa berjumpa dengan teknologi ini melalui rasa ingin tahu dan pemikiran kritis—bukan hanya lewat layar pribadi.

“Harapan saya, Dataland menjadi model global bagi museum masa depan: imersif, inklusif, dan berlandaskan etika.”

SUMBER:TRT World