Opini
DUNIA
5 menit membaca
Apakah AS sedang menuju krisis baru antara sipil dan militer?
Pertemuan tak biasa antara Trump dan Hegseth dengan pejabat militer menandai pergeseran hubungan sipil-militer AS, memunculkan pertanyaan tentang arah baru Pentagon — dari ancaman luar negeri ke prioritas dalam negeri.
Apakah AS sedang menuju krisis baru antara sipil dan militer?
Presiden AS Trump memimpin pertemuan para pemimpin militer senior yang diselenggarakan oleh Menteri Pertahanan Hegseth, di Quantico / Reuters
10 jam yang lalu

Presiden Donald Trump dan Menteri Pertahanan Pete Hegseth berbicara di hadapan ratusan pejabat tinggi militer AS pada 30 September lalu.

Pertemuan tersebut diadakan setelah Pentagon secara mendadak meminta para komandan tertinggi dari seluruh dunia untuk berkumpul di sebuah pangkalan di Virginia, tanpa alasan publik yang jelas sebelumnya — menimbulkan kesan mendesak dan penuh misteri.

Meski pertemuan antara pejabat militer dan otoritas sipil bukan hal langka di Amerika Serikat, banyak pihak menilai skala, kecepatan, dan kerahasiaan acara ini menjadikannya peristiwa yang luar biasa.

Dalam pidatonya, baik Trump maupun Hegseth menyampaikan pernyataan tajam terkait arah kebijakan keamanan dan pertahanan AS di masa depan.

Trump menegaskan bahwa ancaman terbesar terhadap Amerika Serikat datang dari dalam negeri sendiri, menekankan bahwa ancaman domestik harus menjadi prioritas utama.

Sementara itu, Hegseth menyinggung berbagai isu kontroversial — mulai dari kebijakan janggut di lingkungan militer hingga standar kebugaran yang dikaitkan dengan isu gender.

Namun, pernyataannya yang paling menuai kritik adalah tuntutannya agar para jenderal “tidak gemuk.”

Meskipun sempat dijadikan lelucon sebagai rapat yang “bisa saja dilakukan lewat email,” pertemuan ini sebenarnya memiliki implikasi serius bagi masa depan keamanan nasional dan hubungan sipil-militer Amerika.

Babak baru dalam hubungan sipil dan militer

Amerika Serikat memang belum pernah mengalami kudeta, namun bukan berarti hubungan sipil-militer di negara itu selalu berjalan mulus.

Meski institusi militer dan sipil telah lama terlembagakan secara profesional, ketegangan antara Pentagon dan pemerintahan sipil kerap muncul.

Pasca-Perang Dingin, ketika ancaman geopolitik utama mereda, muncul perdebatan mengenai anggaran militer yang besar. Tanpa musuh global yang jelas, sulit bagi Pentagon membenarkan konsumsi sumber daya dalam jumlah besar.

AS sempat diperkirakan akan memangkas anggaran pertahanannya. Namun serangan 11 September 2001 menjadi titik balik yang mengembalikan peran sentral militer dengan anggaran yang melonjak drastis.

Pentagon pun mengalami ekspansi dana terbesar sepanjang sejarahnya. Pemerintah meluncurkan berbagai program baru untuk mendukung “perang melawan teror,” yang menjadi prioritas utama politik dan militer negara tersebut.

Secara historis, sumber utama ketegangan sipil-militer di AS adalah perbedaan pandangan soal penggunaan kekuatan militer.

Sebagai kekuatan besar, AS lebih sering menggunakan aksi militer dibanding negara lain. Kadang, pemerintah sipil mendorong intervensi militer yang ditolak para jenderal. Di lain waktu, militer justru mendesak penggunaan kekuatan yang tidak disetujui pihak sipil.

Dinamika tarik-ulur ini telah lama menjadi ciri khas hubungan sipil-militer Amerika.

Namun dalam beberapa tahun terakhir, perdebatan tersebut bergeser. Polarisasi sosial dan politik yang semakin dalam membuat isu hubungan sipil-militer kini juga mencakup persoalan domestik, termasuk politik identitas, ras, gender, dan isu budaya lainnya — hal-hal yang dulu dianggap sekunder.

Kini, isu-isu itu bukan hanya mendominasi ruang publik, tetapi juga mewarnai perdebatan internal militer.

Selain soal politik identitas dan “perang melawan budaya woke,” rencana Hegseth untuk mereformasi militer AS diperkirakan akan memicu ketegangan baru.

Menurut media AS, sejumlah pejabat tinggi, termasuk Ketua Kepala Staf Gabungan Jenderal Dan Caine, menyampaikan kekhawatiran terhadap pendekatan Hegseth terhadap Pentagon.

Hegseth dikabarkan akan melakukan restrukturisasi besar-besaran, termasuk memangkas sekitar 20 persen dari total 800 jenderal dan laksamana serta merombak struktur komando tempur AS — langkah yang akan secara signifikan mengubah wajah institusi militer negara itu.

Strategi keamanan nasional yang baru

Di tengah perdebatan ini, dokumen strategi keamanan nasional (NSS) baru Amerika juga menjadi sorotan.

Dokumen tersebut, yang tengah difinalisasi, akan menjadi acuan bagi strategi pertahanan nasional dan strategi militer nasional — ketiganya akan menentukan bagaimana AS melihat ancaman dan prioritas keamanannya dalam beberapa tahun mendatang.

NSS baru diperkirakan akan mengurangi keterlibatan militer AS di Afrika dan Eropa serta mempersempit lingkup rivalitas jangka panjang dengan China.

Selain itu, strategi baru ini kemungkinan akan memadukan retorika Trump tentang “America First” dan “Peace through Strength.”

Pada masa jabatan pertamanya, strategi keamanan nasional Trump menempatkan Rusia dan China sebagai fokus utama, bukan lagi terorisme, dengan premis “kembalinya politik kekuatan besar.”

Namun, pernyataan Trump dalam pertemuan di Virginia — yang menyoroti ancaman domestik serta masalah kriminalitas di kota-kota AS — menunjukkan bahwa strategi baru tersebut mungkin akan menempatkan ancaman dalam negeri sebagai prioritas utama.

Kebebasan sipil dan keamanan nasional

Jika hal itu benar terjadi, perdebatan baru soal kebebasan sipil di Amerika tak terelakkan.

Banyak pihak skeptis terhadap sejauh mana pemerintah dapat menggunakan alasan “ancaman domestik” untuk memperluas kewenangannya.

Kebebasan berekspresi dan hak untuk berunjuk rasa diperkirakan akan tetap menjadi isu utama dalam kehidupan publik AS ke depan.

Bagi sebagian pihak, pertemuan di Virginia hanyalah pertunjukan politik Trump dan Hegseth yang mempertemukan ratusan jenderal dan laksamana. Namun bagi lainnya, ini merupakan peristiwa penting yang menandai arah baru strategi keamanan nasional Amerika.

Militer AS sebelumnya terlibat dalam perdebatan politik terutama terkait penggunaan kekuatan di luar negeri.

Namun di bawah Trump, pola ini berubah. Militer kini menjadi bagian dari perdebatan domestik seputar gender, kebugaran, dan budaya.

Dengan Hegseth memimpin Pentagon, isu-isu tersebut semakin menonjol dan memicu perdebatan sengit.

Jika pemerintahan Trump benar-benar menempatkan ancaman domestik di pusat strategi keamanannya, maka perdebatan sipil-militer di AS tidak hanya akan berlanjut — tapi juga kian memanas.

SUMBER:TRT World