Pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) dilaporkan membunuh 300 perempuan dan memperkosa 25 lainnya dalam dua hari pertama setelah memasuki kota Al Fasher, ibu kota negara bagian Darfur Utara di Sudan bagian barat, menurut pernyataan seorang pejabat Sudan.
“RSF membunuh 300 perempuan selama dua hari pertama mereka memasuki Al Fasher,” kata Menteri Negara Urusan Sosial Salma Ishaq kepada Anadolu.
Ia menuturkan bahwa perempuan di Al Fasher telah “mengalami kekerasan seksual, penyiksaan, dan penganiayaan” sebelum dibunuh.
“Semua perempuan di kota itu menghadapi risiko kekerasan seksual dan pembunuhan. Tidak ada yang aman, bahkan anak-anak,” ujar Ishaq, menambahkan bahwa jumlah kasus pemerkosaan yang telah didokumentasikan mencapai 25.
“Ada laporan bahwa jurnalis perempuan juga menjadi korban pemerkosaan, dan kejahatan ini sudah dipublikasikan,” katanya.
“Kekerasan seksual bahkan menimpa anak-anak di depan ibu mereka, yang kemudian dibunuh. Semua orang telah melihat adegan-adegan itu dalam video,” lanjutnya.
“Siapa pun yang meninggalkan Al Fasher menuju Tawila (di Darfur Utara) kini menghadapi bahaya, karena jalan antara kedua kota itu telah menjadi ‘jalan maut’,” ujarnya, menyoroti adanya kekerasan fisik disertai hinaan rasial.
“RSF menggunakan pemerkosaan dan penghinaan sebagai senjata terhadap perempuan yang melarikan diri dari Al Fasher.”
Menteri tersebut mengatakan masih ada keluarga yang tertahan di Al Fasher dan terus mengalami penyiksaan, pelecehan, serta kekerasan seksual.
“Apa yang terjadi di Al Fasher adalah tindakan sistematis pembersihan etnis, kejahatan besar yang melibatkan banyak pihak karena sikap diam mereka.”
Kejahatan RSF
Ishaq menyebut kejahatan RSF di Al Fasher mirip dengan pembantaian yang terjadi di Geneina, ibu kota Darfur Barat, pada 2023.
Menurut laporan PBB pada Januari 2024, antara 10.000 hingga 15.000 orang tewas di Geneina, termasuk gubernur negara bagian, dalam kekerasan bernuansa etnis yang dilakukan oleh RSF dan milisi sekutunya.
“Tentu saja, apa yang terjadi di Geneina tidak terdokumentasi selengkap di Al Fasher. Rekaman RSF sendiri di Geneina tidak sebanyak di Al Fasher,” ujar Ishaq.
Ia menegaskan bahwa dokumentasi kejahatan RSF kini menjadi “bagian dari senjata kelompok pemberontak itu untuk menekan pihak lawan.”
“Rasa senang saat membunuh memberikan mereka sensasi kemenangan. Dalam istilah psikologis, ini adalah bentuk penyimpangan yang mencerminkan dominasi — dan dominasi telah menjadi senjata utama RSF,” katanya.
“Jika RSF tetap bertahan di Al Fasher, mereka akan memusnahkan seluruh penduduk Darfur. Ini adalah pembersihan etnis yang sistematis, dan semua pihak yang diam ikut bertanggung jawab,” tegasnya.
Ia menambahkan, sikap diam komunitas internasional hanya akan membuat RSF semakin berani melakukan kejahatan di Al Fasher dan wilayah lain di Sudan.
Krisis kemanusiaan
Terkait bantuan kemanusiaan di Al Fasher, Ishaq mengatakan bantuan yang dikirim ke Tawila oleh sejumlah organisasi masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan ribuan keluarga pengungsi di kota tersebut.
Ia menjelaskan bahwa lembaga pemerintah tidak dapat memasuki wilayah itu karena berisiko terhadap keselamatan warga sipil dan pekerja kemanusiaan.
“Tapi kami tetap berkomunikasi dengan berbagai pihak dan berupaya menyalurkan dana tanpa mengumumkannya secara terbuka,” ujarnya.
Pada 26 Oktober, RSF merebut kendali atas Al Fasher dan diduga melakukan “pembantaian” terhadap warga sipil, menurut sejumlah organisasi lokal dan internasional. Serangan itu memicu kekhawatiran bahwa konflik bisa semakin memperdalam pembagian wilayah di Sudan.
Pada Rabu, pemimpin RSF Mohamed Hamdan Dagalo (Hemetti) mengakui adanya “pelanggaran” oleh pasukannya di Al Fasher dan mengklaim telah membentuk komite penyelidikan.
Dengan jatuhnya Al Fasher, RSF kini menguasai seluruh lima negara bagian Darfur di bagian barat dari total 18 negara bagian Sudan. Sementara itu, militer masih menguasai sebagian besar wilayah di 13 negara bagian lainnya, termasuk ibu kota Khartoum.
Wilayah Darfur mencakup sekitar seperlima luas Sudan, namun sebagian besar dari 50 juta penduduk negara itu tinggal di wilayah yang masih dikontrol oleh militer.











