Sejak awal perang dan genosida yang dilakukan Israel di Gaza, masyarakat Belanda semakin gencar menekan pemerintahnya agar menghentikan keterlibatan Belanda melalui dukungannya terhadap Israel.
Organisasi masyarakat sipil dan universitas memainkan peran penting dalam menjaga isu Gaza tetap menjadi perhatian publik dan mendorong aksi nyata.
Wacana publik pun berubah signifikan ke arah dukungan bagi Palestina, dengan Gaza menjadi isu utama dalam perdebatan nasional.
Namun, meskipun tekanan publik terus meningkat, pengaruhnya terhadap keputusan pemerintah masih terbatas sejauh ini.
Di tengah pemilu umum Belanda baru-baru ini, perpecahan pandangan soal Gaza di antara partai-partai politik semakin tampak jelas.
Tinjauan The Rights Forum menunjukkan bahwa partai-partai sayap kiri dan tengah-kiri seperti BIJ1, DENK, Partai untuk Hewan (PvdD), Partai Sosialis (SP), Partai Hijau-Buruh (GroenLinks-PvdA), Volt, dan Demokrat 66 (D66) cenderung menegakkan hukum internasional dan hak asasi manusia dalam menyikapi kejahatan Israel terhadap warga Palestina.
Sebaliknya, partai-partai sayap kanan—termasuk Partai untuk Kebebasan (PVV), JA21, Gerakan Petani-Warga (BBB), dan Partai Politik Reformasi (SGP)—menolak mosi parlemen yang mengkritik pendudukan dan genosida Israel.
Partai-partai tengah-kanan seperti Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi (VVD), Kontrak Sosial Baru (NSC), Uni Kristen (CU), dan Partai Demokrat Kristen (CDA), serta partai sayap kanan ekstrem Forum untuk Demokrasi (FvD), juga gagal mendukung mosi yang mengakui tindakan Israel sebagai genosida atau apartheid.
Survei sebelum pemilu menunjukkan adanya kesenjangan besar antara kebijakan pemerintah dan opini publik, di mana mayoritas warga Belanda ingin pemerintah bersikap lebih kritis terhadap Israel, termasuk melalui sanksi ekonomi dan larangan perdagangan dengan permukiman ilegal Yahudi di wilayah pendudukan Palestina.
Meski Gaza menjadi faktor baru yang memengaruhi perilaku pemilih, dampaknya terhadap hasil pemilu tidak sepenuhnya linier.
Kemenangan mengejutkan partai tengah-kiri D66 membuat partai-partai yang mendukung hak-hak Palestina secara kolektif menambah kursi di parlemen, meskipun belum mencapai mayoritas.
Partai sayap kanan ekstrem PVV pimpinan Geert Wilders—yang dikenal anti-Muslim dan pro-Israel—berada di posisi kedua, namun kehilangan banyak kursi dibanding pemilu sebelumnya.
Secara keseluruhan, jumlah kursi partai-partai sayap kanan tetap relatif stabil.
Kontradiksi Den Haag
Belanda menjadi tuan rumah dua lembaga peradilan internasional paling berpengaruh di dunia—Mahkamah Internasional (ICJ) dan Mahkamah Pidana Internasional (ICC)—yang keduanya berbasis di Den Haag.
ICJ memang belum mengeluarkan putusan akhir dalam kasus genosida yang diajukan Afrika Selatan terhadap Israel, namun telah memerintahkan langkah-langkah sementara agar Israel mencegah tindakan genosida.
Meski begitu, posisi pemerintah Belanda justru berbeda dengan keprihatinan lembaga HAM dan para akademisi yang menilai tindakan Israel di Gaza sudah memenuhi unsur genosida.
Pernyataan resmi Belanda mengenai Gaza dan Palestina secara umum lebih condong ke Israel, sering kali mengecam serangan Hamas tanpa menyebut pembunuhan massal oleh Israel, serta menuding Hamas sebagai penyebab “penderitaan kemanusiaan besar di Gaza.”
Walau Belanda mengklaim mendukung “negara Palestina yang merdeka dan berkelanjutan berdampingan dengan Israel yang aman”, hingga kini negara itu belum mengakui Palestina—padahal sudah mengakui Israel sejak puluhan tahun lalu.
Sementara negara-negara seperti Prancis, Inggris, dan Belgia mulai melangkah menuju pengakuan resmi, Belanda masih enggan melakukannya.
Dalam dua tahun terakhir, sejumlah peristiwa memicu kemarahan publik yang memperlihatkan kontradiksi sikap pemerintah Belanda terhadap Gaza dan Israel.
Pada Maret 2024, Belanda secara resmi menyambut Presiden Israel Isaac Herzog untuk membuka Museum Holocaust Nasional—acara yang turut dihadiri Raja Willem-Alexander.
Organisasi The Rights Forum menyebut penyambutan itu sebagai “tamparan bagi rakyat Palestina yang harus menyaksikan Israel membunuh keluarga mereka dan menghancurkan tanah mereka”, sambil menyoroti bahwa ICJ juga mencatat ujaran Herzog yang berisi hasutan genosida.
Kontroversi juga merambah dunia olahraga. Dalam laga UEFA Europa League antara Ajax dan Maccabi Tel Aviv di Amsterdam pada November 2024, bentrokan terjadi antara pendukung Maccabi dan demonstran pro-Palestina.
Dampak insiden itu masih terasa hingga kini, dengan suporter Maccabi dilarang menghadiri pertandingan di Inggris baru-baru ini.
Raja Willem-Alexander mengecam kerusuhan di Amsterdam sebagai “antisemitisme”, meskipun laporan kemudian mengungkap bahwa pendukung Maccabi memicu kekerasan dengan meneriakkan slogan anti-Arab, menyerang gedung, dan membakar bendera Palestina.
Pada Agustus 2025, parlemen Belanda menolak serangkaian usulan yang menuntut pertanggungjawaban Israel—termasuk penghentian pembelian senjata dari Israel, boikot produk dari permukiman ilegal di Tepi Barat, dan pengakuan atas negara Palestina merdeka.
Dalam sidang itu, satu-satunya kesepakatan lintas partai adalah seruan untuk “menghancurkan total” Hamas. Setelah gagal mendapatkan dukungan kabinet untuk sanksi lanjutan terhadap Israel, Menteri Luar Negeri sementara Caspar Veldkamp dan Menteri Perdagangan Hanneke Boerma mengundurkan diri.
Sebagai tuan rumah ICC, Belanda menyatakan akan mematuhi surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant.
Pemerintah kemudian juga memberlakukan larangan perjalanan terhadap Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich karena pelanggaran HAM terhadap warga Palestina—langkah yang serupa dengan yang diambil Inggris, Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Norwegia.
Sementara itu, Badan Koordinator Keamanan dan Kontraterorisme Nasional Belanda (NCTV) untuk pertama kalinya memasukkan Israel dalam daftar negara asing yang dianggap mengancam Belanda, menuduhnya menyebar disinformasi untuk memengaruhi opini publik dan keputusan politik.
Laporan NCTV menyoroti beberapa kasus, termasuk ancaman bersama Israel-AS terhadap ICC di Den Haag dan penyebaran disinformasi selama kerusuhan Ajax-Maccabi, ketika kementerian Israel mengirim dokumen langsung ke politisi dan jurnalis Belanda di luar jalur resmi.
Tekanan publik
Perubahan suasana publik mulai berpengaruh pada berbagai platform dan acara. Stasiun penyiaran nasional Belanda untuk Eurovision Song Contest mengumumkan bahwa mereka tidak akan ikut dalam kompetisi 2026 jika Israel tetap diikutsertakan, dengan alasan “penderitaan kemanusiaan yang berat di Gaza.”
Keputusan ini mengikuti langkah serupa sejumlah negara Eropa lain, seperti Slovenia, Islandia, Spanyol, dan Irlandia.
Gelombang mobilisasi publik juga merambah ranah hukum.
Lembaga riset nirlaba SOMO (Centre for Research on Multinational Corporations), bersama sembilan organisasi Palestina dan Belanda, menggugat negara Belanda karena dianggap gagal mencegah genosida dan menegakkan hukum internasional dalam hubungannya dengan Israel.
Kasus ini kini sedang diproses di Pengadilan Banding, dengan putusan tertulis yang masih ditunggu.
Aksi nasional bertajuk “Red Line” yang digerakkan puluhan organisasi masyarakat sipil besar dan diikuti hingga 250 ribu peserta, semakin menekan pemerintah agar mengakhiri keterlibatan Belanda dalam genosida Israel di Gaza.
Para demonstran menuntut langkah konkret di bidang politik, ekonomi, dan diplomasi—termasuk embargo senjata total, penghentian perdagangan yang mendukung pendudukan, dan pemutusan kerja sama militer.
Unjuk rasa pro-Palestina terus berlangsung di seluruh negeri, termasuk aksi mahasiswa yang mendesak universitas memutus hubungan dengan lembaga Israel, serta aksi duduk dan solidaritas di berbagai kota.
Dengan menolak tekanan publik yang terus menguat, parlemen dan pemerintahan sementara Belanda kini menghadapi krisis legitimasi.
Masih harus dilihat bagaimana pemerintahan baru nanti akan membentuk sikap Belanda terhadap kejahatan Israel di Gaza dan Palestina, serta sejauh mana kebijakan itu akan sejalan atau justru berbeda dengan negara-negara Eropa lainnya.
Apakah pemerintahan mendatang akan berpihak pada hukum internasional atau tetap pada jalur keterlibatan—hal itu akan menentukan posisi moral dan politik Belanda di masa depan.











