Kesepakatan dagang yang diumumkan Indonesia dan Amerika Serikat pada Juli 2024 disebut berada di ambang kegagalan. Seorang pejabat AS mengatakan Indonesia kini mempertanyakan beberapa komitmen yang sebelumnya sudah dicapai.
“Mereka mundur dari apa yang disepakati pada Juli,” ujar pejabat tersebut kepada Reuters, tanpa merinci poin yang dimaksud.
Laporan Financial Times yang dikonfirmasi pejabat itu menyebut, Indonesia keberatan terhadap sejumlah kewajiban yang mengikat dan ingin mengubah formulasi kesepakatan. AS menilai revisi tersebut berpotensi menghasilkan perjanjian yang kurang menguntungkan dibanding kesepakatan terbaru mereka dengan Malaysia dan Kamboja.
Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa proses negosiasi masih berjalan baik. Juru bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Haryo Limanseto, menyatakan tidak ada isu besar yang menghambat pembahasan.
“Dinamika dalam negosiasi adalah hal yang normal. Pemerintah berharap kesepakatan yang saling menguntungkan dapat segera tercapai,” katanya.
Pemerintah juga menyebut, penyelarasan bahasa dalam dokumen perjanjian masih dibutuhkan sebelum dapat difinalkan. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto memimpin langsung tim negosiasi.
Komitmen yang disepakati pada Juli
Dalam pengumuman Juli lalu, Indonesia setuju menghapus tarif lebih dari 99 persen barang asal AS dan mencabut seluruh hambatan non-tarif bagi perusahaan Amerika. Sebagai gantinya, AS akan menurunkan ancaman tarif atas produk Indonesia dari 32 persen menjadi 19 persen.
Saat itu, Presiden AS Donald Trump menyebut kesepakatan ini sebagai “kemenangan besar” bagi industri otomotif, teknologi, pertanian, dan manufaktur AS.
Namun, sumber AS menilai Indonesia kini keberatan terhadap penghapusan hambatan non-tarif, termasuk di sektor industri dan pertanian, serta sejumlah komitmen terkait perdagangan digital.
Perwakilan Dagang AS (USTR) belum memberikan pernyataan resmi terkait perkembangan terbaru ini. Sementara itu, Menteri Keuangan AS Scott Bessent pekan lalu menyinggung bahwa Indonesia “mulai bersikap keras” dalam negosiasi, berbeda dengan Malaysia yang menurutnya lebih kooperatif.












