Opini
PERANG GAZA
5 menit membaca
Nabi palsu perdamaian: pidato Netanyahu di PBB terbongkar
Dari klaim militer yang dibesar-besarkan hingga narasi kemanusiaan yang dipelintir, pidato Netanyahu di PBB kembali menutupi kenyataan dari tindakan Israel di Gaza dan wilayah lainnya.
Nabi palsu perdamaian: pidato Netanyahu di PBB terbongkar
Di podium, Netanyahu mengklaim kemenangan; di luar, warga Palestina menghadapi kehancuran / AP
15 jam yang lalu

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kembali naik ke mimbar Sidang Umum PBB pada 26 September, dengan pidato yang sarat kebohongan, manipulasi, penyangkalan, dan penyalahgunaan.

Namun kali ini, aula UNGA tampak hampir kosong, hanya diisi segelintir delegasi dan beberapa “tamu” Netanyahu sendiri yang bertepuk tangan berlebihan untuk menutupi protes.

Raut wajah Netanyahu sudah cukup menggambarkan segalanya. Ia tampak letih, beberapa kali berhenti, menoleh ke sekeliling dengan bingung, sebelum melanjutkan pidatonya.

Isi pidatonya memadukan klaim besar soal kemenangan militer Israel dengan penyangkalan menyeluruh terhadap kekejaman di Gaza, yang dibungkus dengan dalih “pembelaan diri.”

Netanyahu juga menyerang para pemimpin Barat yang baru-baru ini mengakui Palestina, dan bahkan sempat menyatakan tujuannya adalah untuk “membuat Iran hebat kembali.” Namun, bila dibandingkan dengan bukti yang ada, klaimnya runtuh.

Tentang Gaza

Netanyahu bersikeras bahwa “Israel telah memasok lebih dari dua juta ton makanan dan bantuan ke Gaza… hampir 3.000 kalori per orang per hari.” Klaim tanpa dasar ini dimaksudkan untuk membantah laporan kelaparan, padahal kenyataannya sebaliknya.

Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu (IPC) mengonfirmasi terjadinya kelaparan di Gaza pada Agustus 2025, dengan rata-rata ketersediaan pangan hanya sekitar 1.400 kalori per orang per hari — jauh di bawah tingkat bertahan hidup.

Selain itu, laporan dari World Food Programme dan badan PBB lainnya menggambarkan konvoi bantuan yang dihalangi di perbatasan serta akses kemanusiaan yang sengaja dibatasi. Alih-alih kemurahan hati, Israel justru menerapkan kebijakan kelaparan.

Netanyahu berupaya mengalihkan kesalahan dengan menuding Hamas menjarah “85 persen truk bantuan,” yang ia klaim bersumber dari PBB.

Namun menurut sumber kredibel, PBB tidak pernah menyatakan hal tersebut. France24 pada 28 Agustus melaporkan: “Pengguna internet pro-Israel mengklaim PBB menyatakan bahwa 87 persen bantuan kemanusiaan di Gaza dijarah Hamas. Tidak, PBB tidak pernah mengatakan itu.”

Netanyahu juga membela tingginya korban sipil dengan menyebut “rasio korban non-kombatan dan kombatan kurang dari 2:1,” yang menurutnya “sangat rendah.”

Namun data intelijen Israel yang diperoleh The Guardian, +972 Magazine, dan Local Call menunjukkan hal berbeda: pada Mei 2025, 83 persen korban di Gaza adalah warga sipil — sekitar lima warga sipil untuk setiap pejuang.

Pemantauan PBB juga mengonfirmasi tren yang sama. Dalam perang yang menewaskan lebih dari 200.000 warga Palestina, mayoritas perempuan dan anak-anak, statistik Netanyahu bukan sekadar menyesatkan, tapi dirancang untuk menutupi kenyataan.

Klaim lain yang terus diulang adalah bahwa “Hamas menggunakan warga sipil sebagai tameng manusia.” Justifikasi lama ini kerap dipakai dalam setiap serangan Israel ke Gaza.

Namun penyelidikan PBB dan kelompok HAM tidak menemukan bukti bahwa pejuang Palestina secara sistematis menggunakan warga sipil sebagai tameng.

Yang terdokumentasi berulang kali justru bombardir Israel terhadap rumah, sekolah, kamp pengungsi, dan rumah sakit. Narasi “tameng manusia” lebih berfungsi sebagai tameng retorika dari tuduhan genosida.

‘Kemenangan’ atas Iran

Netanyahu juga menyampaikan klaim dramatis bahwa pilot Israel dan AS telah “menghilangkan ancaman eksistensial” dengan menghantam fasilitas nuklir Iran, bahkan menguasai “langit di atas Teheran” dalam perang 12 hari pada Juni lalu.

Ia melukiskan gambaran kemenangan telak yang menghapus “bahaya” program nuklir Iran.

Namun kenyataannya, serangan itu tidak menghancurkan program nuklir Iran maupun mengamankan dominasi Israel, menurut inspeksi internasional dan analis yang memastikan Iran justru meningkatkan kerja di fasilitas bawah tanah.

Serangan terhadap fasilitas nuklir Iran juga tidak mungkin dilakukan tanpa keterlibatan langsung Amerika Serikat.

Dengan bom penghancur bunker B-2, AS menghantam fasilitas nuklir Fordow, Natanz, dan Isfahan pada 22 Juni. Meski demikian, menurut The New York Times, “bom itu kemungkinan tidak mencapai ruang yang menyimpan sentrifugal vital bagi program nuklir Iran.”

Mitos Israel mencari perdamaian

Netanyahu kembali mengulang retorika lama: “Israel selalu mencari perdamaian; Palestina selalu menolak.” Klaim terbalik ini mengabaikan Inisiatif Perdamaian Arab 2002, yang menawarkan normalisasi penuh dengan dunia Arab bila Israel mundur dari wilayah pendudukan. Palestina mendukungnya. Israel menolaknya.

Hal ini juga menutup mata terhadap Kesepakatan Oslo 1990-an, ketika Palestina masuk ke dalam proses demi harapan negara merdeka, namun justru menyaksikan Israel memperluas permukiman ilegal, memperkuat pendudukan militer, dan menunda setiap langkah yang dijanjikan.

Alih-alih membuka jalan menuju perdamaian, Oslo justru menciptakan sistem yang memecah belah politik dan wilayah Palestina, sementara Israel mengonsolidasikan kontrolnya.

Sejak itu, ekspansi permukiman ilegal, aneksasi Yerusalem Timur, dan blokade Gaza semakin diperketat. Jika perdamaian masih jauh, itu bukan karena Palestina menolak, tetapi karena kebijakan Israel memang ditujukan untuk menutup peluang tersebut.

Setiap kali Netanyahu kembali berpidato di UNGA, jumlah warga Palestina yang tewas, terluka, dan cacat — jumlah rumah, sekolah, rumah sakit, masjid, dan pepohonan yang hancur — melonjak drastis.

Antara dua pidato terakhir saja, lonjakan itu mencapai puluhan ribu korban jiwa dan luka, serta skala kehancuran yang jarang terlihat dalam perang modern.

Namun, ketika Palestina dilarang hadir di PBB akibat penyalahgunaan kekuasaan Washington, justru Netanyahu yang berdiri di sana — menghina dunia, menuding pihak lain, marah-marah soal “anti-Semitisme,” dan menampilkan dirinya sebagai nabi perdamaian.

Yang membedakan pidato kali ini adalah dunia tengah mengalami kebangkitan historis. Tidak hanya pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan kelompok HAM, tapi juga orang-orang biasa di seluruh dunia akhirnya dapat melihat Israel apa adanya — rezim genosida — dan Netanyahu siapa adanya: pembohong patologis, bahkan buronan penjahat perang.

Pertanyaannya, apakah kebangkitan ini datang cukup cepat untuk menyelamatkan jutaan nyawa warga Palestina di Gaza dan membawa para penjahat perang Israel ke pengadilan atas genosida yang mereka lakukan dalam dua tahun terakhir.

SUMBER:TRT World