Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi nasional secara tahunan (YoY) pada November 2025 sebesar 2,72 persen, dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) mencapai 109,22.
Secara bulanan (MoM), inflasi November tercatat 0,17 persen, setelah indeks IHK naik dari 109,04 pada Oktober menjadi 109,22 pada November 2025. Secara kumulatif dari awal tahun (YTD), inflasi berada di kisaran 2,27 persen.
Di tingkat provinsi, inflasi tertinggi terjadi di Provinsi Riau sebesar 4,27 persen, sedangkan inflasi terendah dicatat di Provinsi Sulawesi Utara dengan 0,65 persen.
Menurut Deputi Statistik BPS, Pudji Ismartini, penyumbang utama inflasi YoY kali ini berasal dari kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau. Komoditas seperti cabai merah, beras, ikan segar, dan telur ayam ras disebut memberi andil besar terhadap kenaikan harga.
Komponen inti dan respons Bank Indonesia
Komponen inti inflasi — yang mencerminkan harga barang dan jasa dengan volatilitas rendah — tercatat naik 2,36 persen YoY, dengan kenaikan 0,17 persen MoM. Menanggapi data ini, Bank Indonesia (BI) menyatakan bahwa inflasi November tetap berada dalam target sasaran 2,5 ± 1 persen. Pemerintah bersama BI melalui koordinasi pengendalian inflasi menegaskan komitmen untuk menjaga stabilitas harga ke depan.
Meskipun secara nasional inflasi masih terkendali, disparitas antar daerah tetap terlihat. Beberapa provinsi dan kabupaten/kota mengalami inflasi relatif tinggi, sementara wilayah lain mencatat laju inflasi rendah atau bahkan deflasi. Hal ini menunjukkan tekanan harga tidak merata secara geografis dan dipengaruhi kondisi lokal, seperti pasokan pangan, distribusi, serta faktor musiman.
Dengan memasuki akhir tahun dan menjelang periode libur serta pembelanjaan akhir tahun (Nataru), situasi harga di daerah dengan inflasi tinggi — khususnya bahan pokok seperti pangan dan kebutuhan sehari-hari — akan menjadi sorotan utama. Pemantauan harga dan pasokan secara ketat dinilai krusial agar lonjakan inflasi tidak membebani daya beli masyarakat.














