Lonjakan polusi udara yang terus meningkat di Ibu Kota sepanjang 2025 telah memicu hampir dua juta kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), memunculkan kekhawatiran serius mengenai daya tahan kesehatan masyarakat di wilayah megapolitan yang dihuni lebih dari 11 juta jiwa.
Data PBB terbaru mencatat kawasan Jabodetabek, dengan populasi sekitar 42 juta orang, menjadi salah satu wilayah paling padat dan rentan terhadap risiko lingkungan. Menurut Dinas Kesehatan DKI Jakarta, hingga Oktober 2025 tercatat lebih dari 1,9 juta warga mengalami ISPA, dengan anak-anak mencapai sekitar 20 persen dari total pasien.
Kepala dinas, Ani Ruspitawati, menjelaskan kepada The Jakarta Post, bahwa tingginya kasus tidak hanya dipicu kualitas udara yang memburuk, melainkan juga kombinasi faktor cuaca, kepadatan aktivitas manusia, hingga penurunan imunitas.
“Prevalensi ISPA yang tinggi dipengaruhi banyak kondisi sekaligus, mulai dari perubahan cuaca, polusi udara, padatnya penduduk dan mobilitas, hingga lemahnya daya tahan tubuh serta paparan patogen,” ujar Ani.
Kementerian Kesehatan dalam laporan 29 November menempatkan Jakarta sebagai provinsi dengan beban ISPA tertinggi ketiga di Indonesia, setelah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Secara nasional, lebih dari 12 juta orang dilaporkan mengalami gangguan pernapasan pada 2025, dengan angka yang terus menanjak sejak awal tahun.
Kelompok rentan
Para ahli kesehatan masyarakat kembali menyoroti kualitas udara Jakarta yang sering berada di jajaran kota paling tercemar di dunia. Fachrial Kautsar, Policy & Advocacy Manager di CISDI, mengingatkan bahwa paparan jangka pendek dapat langsung memicu gangguan pernapasan, sementara paparan berkepanjangan berpotensi menimbulkan penyakit kardiovaskular hingga penurunan fungsi kognitif.
“Kelompok pekerja luar ruang, anak-anak, lansia, dan masyarakat berpenghasilan rendah menerima paparan yang paling tinggi, sementara akses mereka terhadap mitigasi, seperti penyaring udara atau layanan kesehatan yang sangat terbatas,” katanya dalam pernyataan pada Sabtu, 6 Desember.
Kajian ilmiah juga menunjukkan faktor struktural yang memperburuk kualitas udara. Temuan BMKG pada 2023 menunjukkan tingkat PM2.5 di Jakarta mencapai hampir delapan kali lipat dari standar aman WHO.
Dinas Lingkungan Hidup DKI tengah menyusun peta jalan pengendalian kualitas udara yang terintegrasi dengan rencana aksi iklim Jakarta. Target utamanya adalah mengurangi 30 persen emisi pada 2030.

















