Presiden Amerika Serikat Donald Trump mendesak Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi pada Rabu untuk meredam komentarnya tentang Taiwan setelah panggilan telepon dari Presiden China Xi Jinping, menurut The Wall Street Journal yang mengutip pejabat yang diberi pengarahan mengenai hal itu.
Urutan percakapan yang tidak biasa itu menimbulkan kekhawatiran di Tokyo mengenai kesediaan Washington untuk memprioritaskan stabilitas perdagangan dengan Beijing daripada ketegangan keamanan regional.
Xi, yang marah atas peringatan terbaru Takaichi bahwa Jepang bisa bergabung dalam respons militer jika China menyerang Taiwan, menghabiskan hampir setengah dari panggilan yang berlangsung sekitar satu jam untuk menekan Trump soal klaim Beijing atas pulau yang berstatus pemerintahan sendiri itu.
Pejabat China menggambarkan 'kembalinya Taiwan ke China' sebagai pilar utama tatanan pascaperang Dunia II dan menekankan tanggung jawab bersama Washington dan Beijing untuk menjaga stabilitas global.
Kemudian hari itu juga, Trump berbicara dengan Takaichi dan menasihatinya untuk menghindari eskalasi ketegangan dengan Beijing terkait kedaulatan Taiwan.
Meskipun ia tidak meminta agar Takaichi mencabut komentarnya, permintaannya untuk 'menurunkan volume' mengganggu para pejabat Jepang, yang melihatnya sebagai sinyal bahwa gesekan terkait Taiwan bisa membahayakan kesepakatan perdagangan AS-China yang baru dicapai.
Kesepakatan itu mencakup komitmen China untuk membeli lebih banyak produk pertanian Amerika — sebuah isu yang sensitif secara politik bagi Trump, yang berulang kali mempromosikan pembelian produk pertanian sebagai kemenangan bagi petani AS.
Dalam pernyataan kepada The Wall Street Journal, Trump memuji hubungan dengan China dan menyoroti manfaatnya bagi sektor pertanian AS.
'Hubungan Amerika Serikat dengan China sangat baik, dan itu juga sangat baik bagi Jepang, yang merupakan sekutu kami yang terhormat dan dekat,' katanya. 'Apa pun yang baik bagi petani kami baik untuk saya,' tambahnya.
Jepang belum memberikan komentar resmi mengenai panggilan tersebut.
Status quo Selat Taiwan
Pernyataan Takaichi sebelumnya, yang disampaikan kepada para anggota parlemen pada 7 November, memicu reaksi keras dari Beijing, termasuk tindakan ekonomi balasan dan komentar provokatif dari seorang diplomat China, yang menyarankan di media sosial agar 'lehernya dipenggal'.
Eskalasi itu terjadi pada saat yang sensitif, sementara Trump berusaha mempertahankan kemajuan perdagangan yang rapuh dengan Xi menjelang beberapa pertemuan yang direncanakan tahun depan.
Di parlemen Jepang pada Rabu, Takaichi tampak meredakan nadanya, mengatakan bahwa ia tidak bermaksud menguraikan rincian mengenai kemungkinan tindakan terkait Taiwan.
Analis mengatakan urutan panggilan Trump — pertama dengan Xi, lalu dengan Takaichi — mungkin menandakan kesediaan untuk menahan seorang sekutu AS pada isu keamanan inti demi mempertahankan keuntungan ekonomi dengan Beijing.
'Urutan panggilan itu menarik dan kemungkinan menimbulkan tanda tanya di Tokyo,' kata Matthew Goodman dari Council on Foreign Relations.
Meskipun baik Washington maupun Tokyo menegaskan bahwa nasib Taiwan tidak boleh ditentukan dengan kekerasan, ketegangan perdagangan AS-China dan pentingnya strategis Selat Taiwan semakin saling terkait.
Seseorang yang dekat dengan Gedung Putih mengatakan perdagangan mendominasi percakapan Trump dengan Xi, termasuk kekhawatiran atas keterlambatan China dalam membeli jutaan ton kedelai AS yang sebelumnya dijanjikan.
Trump kemudian mengatakan kepada wartawan bahwa Xi telah setuju untuk mempercepat pembelian.
Namun bagi Xi, Taiwan tetap menjadi isu utama. Meskipun ia tidak secara tegas meminta Trump untuk menekan Jepang, rujukannya pada tatanan pascaperang secara luas ditafsirkan sebagai pengingat tajam akan warisan perang Jepang dan kepekaan Beijing terhadap pernyataan terbaru Tokyo.
Kebijakan AS terus menentang setiap perubahan sepihak terhadap status quo Selat Taiwan, dengan Departemen Luar Negeri menyebut China sebagai 'ancaman tunggal terbesar bagi perdamaian dan stabilitas' di kawasan.







