Penembakan di Bondi Beach, Sydney, yang terjadi pada hari pertama perayaan agama Yahudi Hanukkah, terlebih dahulu adalah tragedi kemanusiaan yang mendalam dan tindakan yang berakar pada kekerasan antisemit.
Momen yang dimaksudkan untuk ibadah dan pertemuan komunitas itu terganggu secara brutal, meninggalkan sedikitnya 15 orang tewas, keluarga-keluarga hancur, dan sebuah kota berkabung.
Setiap pembahasan selanjutnya harus dimulai dari pengakuan ini: serangan itu menargetkan komunitas Yahudi pada waktu yang sakral, dan para korban layak untuk dikenang, diperlakukan dengan martabat, serta mendapatkan keadilan—bebas dari distorsi politik.
Namun sejarah menunjukkan bahwa momen-momen trauma kolektif seperti ini jarang tetap hanya sebatas berkabung.
Di masyarakat Barat — dan di banyak bagian dunia — tindakan kekerasan publik cepat diserap ke dalam narasi politik yang lebih luas, seringkali sebelum penyelidikan selesai atau motifnya jelas.
Penembakan di Bondi bukan pengecualian.
Dalam hitungan jam setelah serangan, ruang-ruang daring—khususnya platform seperti X—sudah dipenuhi dengan spekulasi, sindiran, dan tuduhan langsung yang diarahkan kepada Muslim.
Unggahan yang mengaitkan kekerasan itu dengan Islam, migrasi, atau "ekstremisme Muslim" menyebar dengan cepat, meskipun tidak ada bukti yang diverifikasi.
Beberapa pengguna media sosial bahkan membagikan video kembang api yang dikaitkan dengan Natal untuk mengklaim bahwa "Islamis" merayakan pembantaian orang Yahudi di Bondi Beach. Beberapa disinformasi itu nyaris konyol.
Praktik menjadikan kambing hitam secara refleks ini terjadi meskipun pihak berwenang menyerukan menahan diri dan penyelidikan masih berlangsung.
Yang membuat reaksi ini sangat mengungkapkan adalah sebuah fakta yang memperumit narasi-narasi tersebut tetapi sulit memperoleh perhatian yang setara.
Salah satu orang yang turun tangan untuk menghentikan pelaku ternyata adalah seorang Muslim.
Penjual buah, Ahmed al Ahmed, seorang saksi di Bondi Beach, menghadang dan membantu menetralkan penembak itu, menempatkan dirinya langsung di jalur bahaya. Tindakannya pasti menyelamatkan banyak nyawa.
Ini bukan solidaritas simbolis atau kecaman belakangan hari—ini keberanian fisik yang langsung dihadapkan pada kekerasan mematikan.
Namun peran al Ahmed tidak tersebar sejauh atau secepat tuduhan tanpa dasar terhadap Muslim sebagai kelompok. Kisahnya mengganggu narasi yang ingin didorong sebagian pihak—dan karena itu sering disingkirkan.
Kontradiksi ini terletak pada inti masalah yang lebih luas.
Dalam wacana politik Barat, kekerasan jarang diperlakukan secara netral. Ketika pelaku adalah Muslim—atau bahkan dipersepsikan sebagai Muslim—insiden semacam itu cepat dibingkai sebagai ancaman peradaban.
Seruan untuk peningkatan pengawasan, pembatasan terhadap ekspresi agama, dan kebijakan imigrasi yang lebih keras cenderung mengikuti.
Ketika pelaku bukan Muslim, bahasanya bergeser ke arah krisis kesehatan mental, pelaku tunggal, atau anomali tragis.
Hasilnya adalah politik kekerasan yang selektif, di mana identitas menentukan interpretasi alih-alih bukti.
Kebencian terhadap Muslim tidak memerlukan konfirmasi; ia tumbuh subur oleh ketakutan, ambiguitas, dan pengulangan.
Platform digital mempercepat proses ini, memberi penghargaan pada kemarahan daripada ketepatan dan kecepatan daripada tanggung jawab.
Aktor-aktor sayap kanan jauh memahami dinamika ini dengan baik. Dalam momen krisis, media sosial menjadi alat untuk memajukan agenda lama dengan dalih keamanan dan kohesi nasional.
Komunitas Muslim, terlepas dari ketidakbersalahan atau kedekatan mereka dengan peristiwa, menjadi target kolateral—diharapkan mengecam lebih keras, membuktikan loyalitas, atau menjauhkan diri dari kejahatan yang tidak mereka lakukan.
Retorika anti-Islam yang dimuat ulang
Pendekatan ini membawa konsekuensi serius.
Pertama, hal itu mendistorsi pemahaman publik tentang kekerasan. Sebagian besar kejahatan kekerasan di masyarakat Barat—seperti seringnya penembakan massal di AS—bukan didorong oleh agama atau ideologi.
Mengaitkan kekerasan secara obsesif dengan Islam mengalihkan perhatian dari ancaman nyata dan terdokumentasi, termasuk ekstremisme sayap kanan, jaringan radikalisasi daring, kekerasan misoginis, dan kegagalan sistemik dalam intervensi kesehatan mental.
Kedua, hal itu memperdalam retakan sosial. Ketika seluruh komunitas diperlakukan sebagai tersangka, kepercayaan terkikis.
Alienasi tumbuh. Kerja sama dengan otoritas melemah. Ironisnya, kebijakan yang dibenarkan atas nama keamanan sering merusak kohesi sosial yang mereka klaim lindungi.
Tindakan Ahmed al Ahmed seharusnya mengubah arah percakapan. Sebaliknya, tindakan itu justru memperlihatkan betapa kaku-nya narasi dominan.
Keberanian seorang Muslim diperlakukan sebagai pengecualian, bukan sebagai bukti menentang prasangka. Penerimaan terhadap Muslim tetap bersyarat saat krisis.
Australia, seperti banyak negara Barat, kini menghadapi pilihan.
Negara itu bisa menanggapi kekerasan dengan kebijakan berbasis bukti, tanggung jawab media, dan solidaritas antar-komunitas—atau melanjutkan jalan di mana ketakutan menentukan kesalahan dan tragedi dipakai untuk keuntungan politik.
Penembakan di Bondi Beach layak dikenang secara khidmat, bukan dipelintir demi kesempatan.
Para korban Yahudi berhak mendapatkan keadilan, bukan narasi yang memicu kebencian lebih lanjut.
Dan tokoh-tokoh seperti Ahmed al Ahmed layak mendapatkan pengakuan—bukan karena mereka Muslim, melainkan karena tindakan mereka mengingatkan kita pada sebuah kebenaran yang terlalu sering diabaikan saat krisis: kemanusiaan bukan milik satu identitas.
Sampai masyarakat Barat belajar menghadapi kekerasan tanpa mencari kambing hitam, tragedi seperti Bondi akan terus menguntungkan bukan hanya pelaku kekerasan—tetapi juga pihak-pihak yang mengeksploitasinya.


















