Presiden Madagaskar, Andry Rajoelina, pada Senin mengumumkan pembubaran pemerintahan setelah gelombang protes menentang pemadaman listrik dan kekurangan pasokan air.
Kantor Komisioner Tinggi HAM PBB melaporkan pada Minggu bahwa sedikitnya 22 orang tewas dalam aksi protes tersebut, yang ditanggapi aparat keamanan dengan tindakan “keras”. Lebih dari 100 orang juga mengalami luka-luka.
“Saya terkejut dan berduka atas jatuhnya korban jiwa dan luka dalam protes menentang pemadaman listrik dan kekurangan air di Madagaskar,” kata Komisioner Tinggi HAM PBB Volker Turk, seraya mendesak otoritas agar menghormati kebebasan berekspresi dan hak berkumpul secara damai.
Menurut kantor Turk, beberapa korban adalah pengunjuk rasa atau warga sekitar yang tewas akibat tindakan polisi dan aparat keamanan, menyusul demonstrasi yang memanas hingga pecah bentrokan.
Sebagian korban lain tewas dalam kerusuhan yang meluas akibat ulah geng kriminal dan penjarah, yang menurut PBB tidak terkait langsung dengan para demonstran.
Turk mengecam tindakan represif aparat, termasuk penggunaan peluru tajam, dan menyerukan agar pasukan keamanan menghentikan penggunaan kekuatan berlebihan serta segera membebaskan pengunjuk rasa yang ditahan secara sewenang-wenang.
Sebagai salah satu negara termiskin di dunia, Madagaskar kerap diguncang gejolak politik sejak merdeka pada 1960, termasuk gelombang protes besar pada 2009 yang memaksa Presiden Marc Ravalomanana lengser.