Bagaimana ledakan Delhi membuat mahasiswa Kashmir dianggap sebagai ‘tersangka terorisme’
DUNIA
6 menit membaca
Bagaimana ledakan Delhi membuat mahasiswa Kashmir dianggap sebagai ‘tersangka terorisme’Pasca ledakan di Delhi, aparat keamanan India melakukan gelombang penggerebekan, penangkapan, dan pembongkaran rumah yang dilaporkan menyasar mahasiswa serta profesional asal Kashmir di berbagai wilayah negara.
Gelombang razia gencar melanda Kashmir, Haryana, dan Uttar Pradesh, di mana polisi menahan profesional medis dan mahasiswa Kashmir. / Reuters
19 November 2025

Sebagai mahasiswa hukum berusia 21 tahun dari Kashmir yang dikuasai India dan menempuh pendidikan di Jamia Millia Islamia, universitas federal dengan jumlah besar mahasiswa Muslim di New Delhi, Burhan JD merasa hidupnya seperti melangkah di ladang ranjau.

Mahasiswa dari Kashmir yang mayoritas penduduknya Muslim—bagian dari kawasan Himalaya yang diklaim penuh oleh India dan Pakistan namun dikuasai sebagian—kembali berada di bawah “kecurigaan kolektif” setelah sebuah bom mobil dekat Red Fort, situs bersejarah di New Delhi, menewaskan 12 orang dan melukai banyak lainnya.

Otoritas India mengidentifikasi pelaku bom bunuh diri sebagai Umar Un Nabi, dokter berusia 29 tahun dari distrik Pulwama di Kashmir.

Pihak berwenang mengaitkan serangan itu dengan apa yang mereka sebut sebagai “sel teror kerah putih,” memicu gelombang penggerebekan, penangkapan, dan pembongkaran rumah yang dilaporkan menargetkan mahasiswa dan profesional Kashmir di berbagai kota India.

Burhan mengatakan bahwa meski tidak banyak insiden nyata berupa pelecehan, ancaman pengusiran, atau diskriminasi institusional, suasana secara keseluruhan terasa menyesakkan.

“Ini pendalaman kecurigaan dan isolasi (terhadap orang Kashmir) yang membuat kehidupan sehari-hari seperti negosiasi demi martabat dasar,” ujarnya kepada TRT World.

Ia menyoroti sebuah video yang menunjukkan seorang perempuan Kashmir di bus Delhi dihujani makian.

“Seorang pria mulai melontarkan komentar provokatif soal Muslim dan orang Kashmir. Ini bukan sekadar prasangka, tapi sudah menjadi pelecehan verbal yang jelas kepada seseorang yang tidak bersalah,” katanya.

Pelecehan terhadap orang Kashmir yang dicurigai terkait dengan sel teror tersebut turut berdampak emosional pada keluarga mereka. Bilal Ahmad Wani, pedagang buah kering dari Kashmir, membakar dirinya setelah putra dan saudaranya diperiksa polisi.

Keluarga Wani mengatakan kepada wartawan bahwa ia “terlihat sangat terguncang dan ‘bahkan sulit berjalan’” setelah kembali dari kantor polisi tempat dua anggota keluarganya ditahan.

Ada laporan bahwa beberapa pemilik rumah meminta penyewa asal Kashmir untuk segera pindah, memaksa mereka pulang karena ketakutan.

Bukan tragedi terpisah

Warga Kashmir yang tinggal di kota-kota India sering mendapat stigma kolektif setiap kali terjadi insiden teror yang melibatkan tersangka dari Kashmir yang dikuasai India.

Nabi, pelaku bom yang dituduh, memicu siklus kecurigaan yang sama.

Otoritas India mengklaim menemukan kaitan antara ledakan itu dan penangkapan sebelumnya di Kashmir, di mana polisi disebut menyita bahan peledak dari rumah-rumah yang disewa oleh sejumlah dokter Kashmir.

Tak lama kemudian, polisi menangkap Amir Rashid Ali, warga Kashmir lainnya, sebagai kaki tangan, menuduhnya bersekongkol dengan Nabi.

Gelombang penggerebekan kemudian meluas ke Kashmir, Haryana, dan Uttar Pradesh, dengan polisi menahan tenaga medis serta mahasiswa, menghancurkan properti pribadi, dan menerbitkan surat pencarian.

Burhan mengatakan ponselnya terus berbunyi setelah ledakan, dipenuhi pesan panik dari keluarga: “Jangan keluar rumah, jangan keluar dari lingkungan. Kamu tahu realistisnya, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi.”

Tekanan terhadap warga Kashmir di India bukanlah tragedi yang berdiri sendiri. Ini adalah bagian dari konflik panjang yang memburuk sejak Perdana Menteri Narendra Modi mencabut Pasal 370 Konstitusi India pada 2019, yang menghapus status khusus Kashmir dan otonominya.

New Delhi kemudian membagi wilayah Kashmir yang dikuasai India menjadi dua “wilayah persatuan” di bawah kendali pusat, diikuti isolasi komunikasi selama bertahun-tahun, penahanan massal, serta peningkatan penggunaan Undang-Undang Pencegahan Aktivitas Melanggar Hukum (UAPA) untuk membungkam oposisi.

Hingga kini, aparat keamanan India telah menangkap hampir 9.000 orang di bawah UAPA, namun hanya sekitar 250 yang divonis bersalah.

Jumlah penangkapan tertinggi terjadi di Kashmir yang dikuasai India, dengan 2.633 orang ditahan, namun hanya 13 yang diputus bersalah.

“Tahun 2019 adalah titik balik,” kata Burhan, merujuk perubahan status konstitusional Kashmir.

“Itu memperbesar pengawasan yang sebenarnya sudah lama ada, tetapi kini terasa tanpa henti, seperti sorotan lampu yang mengikuti ke mana pun kamu pergi,” ujarnya.

Burhan kini menghindari naik ojek larut malam, khawatir ditanya soal asalnya.

Ia mengatakan permusuhan terbuka jarang terjadi di lingkungan mayoritas Muslim tempat ia tinggal. Kalimat ringan seperti “Oh, kamu dari Kashmir?” masih menjadi pembuka percakapan paling umum.

Namun, psikologi sosial telah berubah, katanya.

“Rasa waspada tidak menunggu tulang patah untuk menganggap itu ancaman. Ia sangat peka terhadap pola,” ujarnya.

Ali Saeed*, mahasiswa Kashmir lain yang menempuh pendidikan di New Delhi, merasakan kegelisahan serupa.

“Insiden seperti (ledakan Delhi) selalu menempatkan orang Kashmir pada posisi rentan,” katanya kepada TRT World.

Meski orang tak mengucapkan apa-apa, perubahan kecil dalam nada dan tatapan dapat terasa, ujarnya.

“Itu hal-hal halus, tapi cukup untuk membuatmu merasa dihakimi atas sesuatu yang tidak ada hubungannya denganmu,” katanya.

Menurutnya, orang jarang bertanya soal hal-hal normal pada warga Kashmir, seperti budaya atau kehidupan sehari-hari.

“Pembicaraan langsung melompat ke politik atau keamanan,” tambahnya.

‘Ini profil rasial’

Nasir Qadri, praktisi hukum internasional dari Kashmir yang kini menjadi peneliti hukum di Universitas Koc, Istanbul, mengatakan kepada TRT World bahwa pemeriksaan pasca-ledakan merupakan bentuk profil rasial oleh otoritas India.

Ia mengatakan aparat keamanan India menggunakan ketentuan UAPA yang memberi kewenangan luas untuk menangkap, menggeledah, dan menyelidiki berdasarkan keyakinan subjektif petugas mengenai adanya “niat” melakukan pelanggaran.

“Ketika dilakukan melalui verifikasi massal, praktik ini secara tidak proporsional menargetkan mahasiswa Kashmir dan menjadi de facto profil rasial, bukan penyelidikan kontra-terorisme berbasis bukti,” ujarnya.

Dampak perubahan status konstitusional Kashmir pada 2019 meluas jauh melampaui buku hukum.

Qadri menyebut kondisi politik baru yang ditandai penahanan sewenang-wenang, penyitaan properti, pemecatan massal pegawai, penetapan kelompok HAM sebagai organisasi teroris, dan penahanan paspor.

“Langkah-langkah ini menciptakan lingkungan koersif di mana kebebasan berbicara, berkumpul, dan bergerak diatur melalui hukuman, bukan hak,” katanya.

Hafsa Kanjwal, profesor sejarah Asia Selatan di Lafayette College, AS, mengatakan kepada TRT World bahwa ruang untuk menyampaikan kritik di India terus menyempit.

“Banyak aktivis mahasiswa yang pernah terlibat dalam protes kampus telah ditangkap dengan tuduhan terorisme di bawah UAPA,” katanya.

“Jika ini yang terjadi pada mahasiswa di India, bisa dibayangkan bagaimana nasib warga dan aktivis di Kashmir,” lanjutnya.

Ia mengatakan dominasi institusional Partai BJP pimpinan Modi atas universitas, pengadilan, dan media telah menormalisasi kekerasan.

“Orang Kashmir selalu menghadapi pengawasan dan pelecehan di Delhi serta kota-kota India lainnya. Kondisi ini hanya akan semakin memburuk… dan membuat kekerasan terhadap warga Kashmir semakin mungkin terjadi,” ujarnya.

Bagi Burhan, yang terus melihat unggahan penuh kebencian terhadap orang Kashmir di media sosial, situasi ini terasa sangat personal.

“Pelecehan tidak perlu dialami langsung untuk benar-benar dirasakan. Ia hadir dalam bentuk rumor, video yang viral, atau cerita dari teman ke teman,” katanya.

Nama diubah untuk melindungi identitas narasumber.

SUMBER:TRT World