Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan Indonesia akan mengalami puncak musim hujan yang lebih panjang dari biasanya tahun ini. Situasi ini membawa risiko banjir dan curah hujan ekstrem yang lebih tinggi di banyak wilayah di Indonesia.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menjelaskan bahwa musim hujan akan dimulai bulan ini dan berlangsung hingga April 2026. Menurutnya, puncak musim hujan akan terjadi pada November hingga Desember 2025 di Sumatera dan Kalimantan, sementara Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua akan mengalaminya pada Januari hingga Februari 2026.
"Kita harus waspada karena puncak musim hujan cukup panjang dan terjadi di hampir semua wilayah di Indonesia," ujar Dwikorita, seperti dikutip oleh Reuters.
Sejalan dengan Dwikorita, Guswanto, pejabat lain di BMKG, menambahkan, "Risiko banjir tinggi antara November tahun ini dan Februari tahun depan."
Selain itu, BMKG juga memperingatkan adanya curah hujan ekstrem dalam waktu singkat. Dwikorita menyebutkan bahwa beberapa daerah bisa diguyur hujan setara dengan curah hujan satu bulan hanya dalam satu hari. Peringatan ini datang setelah Bali mengalami curah hujan ekstrem setara curah hujan satu bulan dalam dua hari, memicu banjir yang menewaskan 23 orang dan memaksa evakuasi lebih dari 500 orang.

Faktor iklim dan kesiapsiagaan
Musim hujan yang lebih panjang ini sebagian besar dipengaruhi oleh dinamika atmosfer, termasuk fenomena iklim global. Sementara El Niño biasanya menyebabkan kekeringan, adanya pola cuaca lain bisa memicu curah hujan yang intens. Menurut sejumlah ahli iklim, meskipun musim hujan adalah siklus tahunan yang normal di Indonesia, perubahan iklim global telah meningkatkan intensitas dan durasi badai, serta curah hujan ekstrem.
Kondisi ini menyoroti pentingnya kesiapsiagaan pemerintah dan masyarakat. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah berupaya meningkatkan mitigasi bencana melalui berbagai program, termasuk sistem peringatan dini (EWS) untuk bencana hidrometeorologi. Namun, BMKG menekankan bahwa kewaspadaan masyarakat tetap menjadi kunci. Dwikorita mengimbau masyarakat untuk memantau informasi cuaca secara rutin dan mengambil langkah-langkah pencegahan, seperti membersihkan saluran air dan tidak membuang sampah sembarangan.
Bencana yang terjadi di Bali, yang digambarkan oleh BNPB sebagai bencana hidrometeorologi terburuk dalam satu dekade terakhir, menjadi pengingat yang menyakitkan bahwa infrastruktur di banyak wilayah masih belum mampu menampung curah hujan yang begitu ekstrem. Banjir yang terjadi di Denpasar, misalnya, tidak hanya disebabkan oleh intensitas hujan, tetapi juga oleh sistem drainase yang kesulitan menampung volume air yang sangat besar.
Dampak dan langkah pencegahan
Ancaman bencana ini tidak hanya berdampak pada infrastruktur, tetapi juga pada sektor-sektor penting lainnya. Risiko banjir dan tanah longsor di daerah perbukitan bisa mengganggu jalur transportasi dan aktivitas ekonomi. Selain itu, curah hujan berlebihan dapat merusak lahan pertanian, mengganggu pasokan pangan, dan meningkatkan risiko penyakit yang ditularkan melalui air.
Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama dalam menghadapi ancaman ini. Langkah-langkah preventif, seperti penataan ruang yang lebih baik, pembangunan infrastruktur drainase yang mumpuni, serta program edukasi bencana berbasis komunitas, menjadi sangat krusial.
Dengan proyeksi musim hujan yang lebih panjang dan intens, Indonesia kini berada di titik kritis. Kesiapsiagaan, kolaborasi, dan adaptasi terhadap perubahan iklim menjadi satu-satunya jalan untuk meminimalkan dampak buruk yang mungkin terjadi.