Eurasia kini bukan lagi sekadar papan catur geopolitik tempat kekuatan besar saling bersaing; kawasan ini telah menjadi bengkel tempat tatanan global baru dibangun dari bawah.
Dalam beberapa tahun terakhir, benua super ini menyaksikan lahirnya berbagai koalisi fleksibel, pertemuan lintas kawasan, hingga proyek infrastruktur yang melewati hierarki lama.
Apa yang tampak seperti kekacauan—pertemuan yang tumpang tindih, jalur dagang yang saling bersaing, aliansi yang berubah-ubah—sebenarnya adalah pola baru yang terbentuk lewat negosiasi dan pembangunan.
Hari ini, Eurasia berfungsi sebagai laboratorium multipolaritas global: memberi gambaran awal tentang bagaimana politik dunia bisa berjalan di era multipolar yang lebih terdesentralisasi.
Dari multilateralisme ke minilateralisme
Salah satu tren utama di Eurasia adalah pergeseran dari multilateralisme tradisional ke format “minilateral” yang lebih lincah.
Format minilateral ini lebih gesit dan berbasis kepentingan, memungkinkan negara-negara bekerja sama dalam tujuan spesifik tanpa harus memiliki keselarasan ideologi yang luas.
Dalam praktiknya, legitimasi dan penyelesaian masalah lebih banyak mengalir melalui koalisi terarah ketimbang perjanjian universal.
Contoh nyata dan terbaru adalah KTT Uni Eropa–Asia Tengah pertama pada April 2025, yang melanjutkan inisiatif Z5+1 Jerman dan diikuti format 5+1 Italia.
Pada September 2023, mantan presiden AS Joe Biden untuk pertama kalinya mengadakan pertemuan bersama dengan lima presiden Asia Tengah dalam format “C5+1”.
KTT pemimpin C5+1 perdana ini berfokus pada kerja sama praktis—mulai dari kontra-terorisme, perdagangan, hingga mineral penting—alih-alih retorika ideologis besar.
Ini menegaskan bahwa bahkan sebuah kekuatan besar seperti AS kini terlibat melalui format regional yang spesifik, bukan kebijakan menyeluruh.
Selain kekuatan besar, negara lain juga membentuk koalisi minilateral. Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) + Asia Tengah, misalnya, mengadakan KTT pertamanya pada 2023, lalu berlanjut ke pertemuan kedua di 2024.
Begitu pula dengan wacana platform “3+3” di Kaukasus—tiga negara Kaukasus Selatan bersama Rusia, Turkiye, dan Iran—yang dibahas untuk menangani konflik regional dan proyek pembangunan. Ini mencerminkan tren umum menuju keterlibatan yang lebih terfokus.
Kebangkitan format minilateral ini menunjukkan adanya transisi global yang lebih luas.
Jika pada era Perang Dingin urusan kawasan diatur lewat aliansi besar atau lembaga global, kini, seiring menyebarnya kekuatan, banyak negara lebih memilih aliansi fleksibel ketimbang aliansi tetap.
Format kecil semacam ini bisa merespons lebih cepat dan merancang solusi sesuai isu, entah untuk koordinasi bantuan bencana, pembangunan jalur kereta, atau perundingan gencatan senjata.
Peran aktor regional
Fitur lain yang menonjol dari tatanan baru Eurasia adalah meningkatnya peran negara-negara kekuatan menengah, khususnya di Asia Tengah dan Kaukasus Selatan.
Negara-negara ini aktif membentuk hasil dengan menjalankan kebijakan luar negeri multi-vektor dan menyeimbangkan hubungan sesuai kepentingan mereka.
Selama puluhan tahun, Kazakhstan, Uzbekistan, atau Azerbaijan belajar menjaga kedaulatan dengan keterlibatan hati-hati bersama aktor eksternal—strategi yang oleh para akademisi disebut pendekatan multi-vektor.
Kini, ketika persaingan global semakin sengit, strategi itu memberi mereka kebebasan bergerak yang lebih besar.
Mereka tidak menaruh semua kepentingan pada satu pihak; investasi dan kerja sama keamanan diterima dari Rusia, China, AS, Eropa, Teluk, dan pihak lain secara bersamaan.
Sebagai respons atas perang di Ukraina, pemerintah Asia Tengah memilih tidak mengikuti Rusia sepenuhnya, melainkan netral terhadap sanksi dan memperluas kemitraan eksternal untuk mengurangi ketergantungan pada Moskow.
Alih-alih mengisolasi diri, mereka justru semakin terbuka—menjalin hubungan dengan negara Teluk, Asia Selatan, hingga Asia Timur untuk memperluas pilihan strategis.
Di Kaukasus Selatan, logika serupa juga berlaku. Azerbaijan, Georgia, dan Armenia kini menemukan bahwa masuknya aktor baru seperti China, India, AS, negara-negara Eropa, atau Arab memberi mereka ruang gerak tambahan.
Kesepakatan terbaru yang dimediasi Washington menegaskan hal itu: Azerbaijan mendapat dukungan untuk koridor Zangezur, sementara Armenia mendapat pengakuan atas peran strategisnya melalui sikap yang lebih pragmatis.
Secara keseluruhan, meningkatnya peran aktor regional ini menunjukkan bahwa Eurasia bukan sekadar arena kompetisi kekuatan besar, melainkan meja perundingan kompleks di mana pemain lokal punya pengaruh nyata.
Eurasia membuktikan bahwa bahkan di antara raksasa, langkah gesit negara-negara kawasan dapat menentukan arah tarian besar geopolitik.
Konektivitas sebagai takdir
Mungkin tak ada hal yang lebih mencerminkan semangat kerja sama baru Eurasia selain perlombaan membangun koridor transportasi dan energi di seluruh benua.
Proyek koridor yang bersaing—baik untuk kereta barang, pipa gas, maupun kabel serat optik—lebih dari sekadar garis di peta atau proyek prestise geopolitik.
Taruhannya sangat besar: barang siapa lebih cepat sampai ke pasar, energi siapa yang menemukan pembeli, negara mana yang menjadi simpul transit strategis, mendapatkan investasi dan pemasukan.
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan siapa yang ekonominya berkembang, siapa yang rakyatnya mendapat pekerjaan, dan negara mana yang membangun ketahanan strategis di tahun-tahun mendatang.
Pada KTT Uni Eropa–Asia Tengah 2025, semua pihak menekankan koridor Tengah sebagai prioritas investasi bersama.
Inisiatif Belt and Road China juga terus mendanai konektivitas Eurasia, termasuk rencana jalur kereta China–Kirgizstan–Uzbekistan yang mempersingkat jalur ke Timur Tengah.
Infrastruktur energi menjadi bidang lain dengan taruhan besar. Salah satunya adalah ide pembangunan Pipa Gas Trans-Kaspia untuk menyalurkan gas Turkmenistan melalui Laut Kaspia ke Azerbaijan, lalu ke Turkiye dan Eropa melalui Koridor Gas Selatan.
Di sisi lain, China terus menanamkan modal pada pipa gas yang menyalurkan hidrokarbon Kaspia ke arah timur.
Yang penting, koridor-koridor ini tidak hanya terbatas pada jalur timur–barat.
Eurasia juga menenun jalur utara–selatan dan arah lain, menciptakan jaringan konektivitas. Misalnya, International North–South Transport Corridor (INSTC) yang menghubungkan Rusia dan Eropa ke Asia Selatan melalui Iran.
Uzbekistan bersama Afghanistan dan Pakistan juga mempercepat rencana pembangunan rel Trans-Afghan yang akan menghubungkan Asia Tengah ke Samudra Hindia. Proyek ini memungkinkan negara-negara Asia Tengah yang terkurung daratan untuk mengirimkan produk ke laut, sekaligus memberi Pakistan akses darat ke pasar Eurasia.
Dengan kata lain, kawasan ini tidak hanya bergantung pada satu koridor; mereka membangun sebanyak mungkin jalur—timur–barat ke Eropa, utara–selatan ke Iran dan India, serta selatan melalui Afghanistan—agar menjadi simpul tak tergantikan dalam ekonomi multipolar.
Jalur ini bukan sekadar rute dagang, melainkan penentu pemenang rantai pasok global. Koridor pembangunan di sini bukan reaksi atas geopolitik, melainkan pencipta geopolitik baru dengan pola keterhubungan yang saling bergantung.
Dalam tatanan yang lahir dari negosiasi di Eurasia, konektivitas adalah takdir.
Makna global
Apa yang terjadi di Eurasia bukanlah fenomena lokal, melainkan gambaran awal tentang bagaimana dunia multipolar dapat berfungsi.
Seiring memudarnya unipolaritas AS, Eurasia mengarah pada tatanan multipolar berbasis koalisi fleksibel, pembangunan pragmatis, dan keseimbangan hati-hati untuk mencegah konflik.
Pertama, pola koalisi fleksibel—KTT minilateral, forum regional, dan kemitraan lintas kawasan—semakin bergema di seluruh dunia.
Alih-alih mencari konsensus universal yang sering mustahil di era polarisasi saat ini, negara-negara kini menyelesaikan masalah melalui koalisi sukarela. Gaungnya terlihat pada kelompok seperti Quad di Indo-Pasifik, atau tim mediasi ad-hoc Uni Afrika.
Hal ini mencerminkan sikap banyak negara di Global South—dari Asia Tenggara, Afrika, hingga Amerika Latin—yang tidak ingin dipaksa memilih pihak dalam rivalitas AS–China atau Barat–Rusia, melainkan lebih memilih banyak kemitraan.
Kedua, fokus Eurasia pada pembangunan ketimbang dominasi membawa pesan kuat. Tesis utama yang lahir dari kawasan ini adalah bahwa konektivitas, investasi, dan pertumbuhan ekonomi—bukan kekuatan militer atau ideologi—merupakan kunci pengaruh di abad ke-21.
Semangat ini tercermin dari inisiatif seperti Belt and Road China, yang membangun pengaruh lewat rel dan pelabuhan, bukan pangkalan dan bom. Demikian pula, Uni Eropa melibatkan Asia Tengah melalui pembiayaan infrastruktur dan kesepakatan dagang, bukan lewat perluasan aliansi militer.
Bahkan AS, melalui format C5+1, lebih banyak berbicara soal ketahanan ekonomi, pembangunan berkelanjutan, dan kerja sama mineral penting ketimbang wacana demokrasi versus otoritarianisme.
Ini menandai perubahan fokus kekuatan besar: proyek pembangunan nyata yang memberi manfaat langsung bagi kawasan untuk merebut simpati publik.
Terakhir, pengalaman Eurasia menekankan pentingnya regionalisme sebagai fondasi tatanan global baru.
Kita sering membicarakan “dunia multipolar” dengan mengacu pada kekuatan besar seperti China, AS, Uni Eropa, dan Rusia.
Namun, kenyataannya adalah multipolaritas regional: kawasan-kawasan membangun sistem kerja sama sendiri, lalu berinteraksi dengan kawasan lain.
Alih-alih setiap negara berjalan sendiri di tengah kekacauan, kelompok negara bergabung dalam format regional yang kemudian bisa bernegosiasi dengan blok besar atau kekuatan global. Asia Tengah, misalnya, terlibat dengan Uni Eropa sebagai kelompok, juga dengan China sebagai kelompok.
Singkatnya, Eurasia menawarkan jalan di mana multipolaritas tidak jatuh ke dalam kekacauan, tetapi dikelola melalui jaringan kerja sama regional dan koalisi berbasis proyek. Sebuah visi tatanan yang lahir dari negosiasi dan improvisasi, bukan paksaan dari atas.