Pada 1896, sebuah kawasan hiburan baru di tepi danau buatan di Lagymanyos, Budapest, resmi dibuka untuk publik.
Daya tarik utamanya begitu menggoda: sebuah tempat bernama Konstantinapoly Budapesten, atau “Konstantinopel di Budapest”.
Sebuah jembatan kayu menyeberangi danau—replika Jembatan Galata—berkilau diterangi lampu arc yang baru dipasang.
Dari jembatan itu, danau dan sekelilingnya bersinar oleh lentera dan fasad berwarna.
Di depan, terbentang jalan-jalan bazar sempit, lorong berkubah, serta toko-toko yang penuh “barang-barang Timur”, mulai dari lentera, permadani, rempah, hingga keramik asing. Sebuah replika kubah besar Ayasofya dan miniatur Menara Galata berdiri di atas para musisi yang memainkan lagu-lagu asing di kafe bernama “The Great Sultana” dan “Eastern Nights”.
Ada kapal perang yang dibuat khusus untuk pertunjukan—sering kali sengaja ditenggelamkan demi menghibur pengunjung. Di tengah danau berdiri benteng kecil berbentuk kastel, tempat kembang api ditembakkan.
Budapest di malam hari seolah berubah menjadi tiruan Istanbul. Untuk satu malam, para pengunjung bukan lagi berada di Eropa Tengah, melainkan dalam fantasi Timur yang dirancang demi selera Eropa.
“Konstantinopel di London”
Pertunjukan serupa juga terjadi di London beberapa tahun sebelumnya. Pada 1893—1894, Olympia Exhibition Centre menggelar kawasan hiburan multisensorik raksasa bertajuk Constantinople in London.
Taman tema ini menghadirkan berbagai pameran, teater besar, bazar, bar, dan restoran. Arsitekturnya sebagian meniru landmark ikonik Istanbul dan sebagian mengadopsi motif tropis yang akrab dengan stereotip “Orient” pada masa itu.
Melalui lensa kolonialisme dan Orientalisme, kesan Barat atas “dunia lain” diproyeksikan secara antusias namun sering keliru, melahirkan representasi budaya yang lebih merupakan imajinasi daripada kenyataan.
Perspektif inilah yang menjadi kerangka konferensi sehari bertajuk “Reinvented as Theme Park: Istanbul in the Imagination of Nineteenth-Century Europe” yang digelar di Istanbul, membahas bagaimana kota itu dijadikan tontonan di berbagai belahan Eropa menjelang akhir abad ke-19.
Konferensi tersebut menelusuri bagaimana Istanbul direka ulang—atau diciptakan kembali—melalui berbagai pertunjukan publik, mulai dari arsitektur teatrikal hingga distrik hiburan berskala penuh.
Istanbul dalam bayangan Barat
Para akademisi menelusuri bagaimana dunia-dunia sementara itu—berisi gang-gang sempit, bazar, masjid tiruan, dan monumen panggung—membangun sosok Istanbul yang lebih hidup dalam imajinasi Eropa ketimbang realitasnya.
Berbagai studi kasus menunjukkan pola lebih besar: ketertarikan mendalam dan romantisasi terus-menerus terhadap Timur oleh dunia Barat. Baik melalui Jembatan Galata versi Budapest yang berpendar, maupun tiruan teatrikal megah di London, Istanbul menjadi kanvas bagi fantasi Eropa—sebuah lanskap mimpi yang dibentuk oleh hasrat orientalis.
“Theme park Constantinople in London adalah semacam blockbuster pada masanya: sukses besar dari segi jumlah pengunjung maupun keuntungan. Para investornya meraup untung besar,” kata Peter Tamas Nagy, sejarawan arsitektur dunia Islam, kepada TRT World.
Dalam abstrak makalahnya “Constantinople as Spectacle: A Controversial Theme Park in London”, Nagy menyebut Olympia Exhibition Centre 1893–1894 sebagai tuan rumah Constantinople in London, “sebuah distrik hiburan multisensorik atau taman tema” dengan beragam pameran, teater besar, bazar, bar, dan restoran.
Nagy mengatakan kepada TRT World bahwa ia menduga keberhasilan taman tema itu berasal dari beragam hiburannya: “Berbagai seni—mulai dari teater, musik, lukisan, tableau vivant (‘patung hidup’), hingga arsitektur—berpadu dalam satu pertunjukan, ditambah sajian kuliner, kopi Türkiye, dan tembakau premium.”
“Konsep utamanya adalah menciptakan pengalaman multisensorik yang membuat pengunjung seakan memasuki dunia lain,” ujarnya. “Meski dari sudut pandang hari ini terlihat sebagai gambaran Istanbul yang keliru dan terdistorsi, taman tema itu sangat berhasil mencapai tujuannya.”
Karena globalisasi dan kolonialisme pada abad ke-19, Barat mengalami intensitas interaksi besar dengan Timur Tengah, Asia Kecil, dan Asia Timur—jauh melampaui kisah para pelaut dari abad sebelumnya.
Barat menemukan apa yang mereka anggap tanah-tanah eksotis, dan temuan-temuan itu menarik perhatian besar publik.
‘Hampir sebuah ciptaan Eropa’
Edward Said dalam karya monumentalnya tahun 1978 menulis: “Orient hampir merupakan ciptaan Eropa, dan sejak dahulu menjadi tempat romantisme, makhluk-makhluk eksotis, kenangan dan lanskap yang membekas, serta pengalaman luar biasa.”
Menurut Zsuzsanna Emilia Kiss dari Budapest University of Technology and Economics, tujuan Constantinople in Budapest adalah “membangkitkan suasana Istanbul lewat kafe, kios, pertunjukan, dan rekonstruksi suasana jalanan—bukan melalui akurasi sejarah.”
Ia menjelaskan bahwa pameran itu “menggambarkan bagaimana Budapest membayangkan Istanbul: bukan sebagai kota modern yang tengah berbenah, tetapi sebagai ‘Timur’ yang romantis, semarak, penuh warna, hiruk-pikuk, perdagangan, dan tontonan.”
Kiss mengatakan kepada TRT World bahwa “konstruksi imajinatif” tentang “Magical Orient” muncul dari Barat: “visi romantis yang dipenuhi fantasi, hasrat, nostalgia, dan pertunjukan.”
Nagy memiliki pandangan berbeda, meski mengakui kepada TRT World bahwa “narasi tradisional Timur-Barat sering diikat oleh dinamika kekuasaan yang timpang. Kolonisasi Eropa terhadap sejumlah negara Muslim juga membuat isu ini sensitif.”
Ia menilai “sangat meragukan” untuk menganggap adanya satu ‘Barat’ dan satu ‘Timur’ ketika membahas representasi artistik atau arsitektural masa itu.
Menurut Nagy, ada “berbagai arah saling memengaruhi” antara Timur dan Barat, dengan beragam alasan yang mempengaruhi gaya arsitektur di berbagai belahan dunia.
Ia menganggap arsitektur bergaya Oriental hanyalah “sebuah episode” dalam kisah besar perkembangan arsitektur global abad ke-19, karena peniruan arsitektur tidak hanya dilakukan Barat terhadap Timur. Nagy mendorong agar “bias stereotip” disingkirkan dan melihat fenomena itu sebagai bagian dari dinamika arsitektur global saat itu.
Nagy melanjutkan bahwa ketika menelaah representasi arsitektural masa itu, “sulit untuk menganggap ada satu ‘Barat’ dan satu ‘Timur’. Ada banyak arah peniruan, pengaruh timbal balik, dan alasan berbeda di balik kecenderungan arsitektur pada masa itu.”
Ia menambahkan: “Banyak contoh menunjukkan warisan arsitektur suatu wilayah ditiru di tempat lain. Arsitektur beroriental hanyalah salah satu bab dalam kisah besar tersebut. Sudah saatnya kita meninggalkan prasangka dan membahas arsitektur Oriental sebagai bagian dari lanskap global abad ke-19.”
‘Sumber inspirasi’
Gergo Mate Kovacs, insinyur pelestarian bangunan bersejarah dan peneliti bahasa Türkiye yang kini bekerja sebagai Atase Kebudayaan di Liszt Institute — Hungarian Cultural Center di Istanbul, mengatakan kepada TRT World bahwa dalam arsitektur historisis Hungaria akhir abad ke-19, “kemunculan unsur Islam tidak hanya dipengaruhi Orientalism Eropa secara umum, tetapi juga dinamika khas Hungaria.”
Ia menjelaskan bahwa banyak perjalanan dan ekspedisi dilakukan ke berbagai wilayah Asia, sementara di saat yang sama kerajinan tangan, laporan tertulis dan ilustrasi, gambar, serta foto dari wilayah tersebut masuk ke Eropa. Semua itu kemudian menjadi “sumber inspirasi bagi para arsitek Eropa yang bekerja dalam semangat historisisme.”
Namun, dalam banyak kasus, motif-motif tersebut ditempatkan dalam konteks yang sama sekali berbeda.
Dengan kata lain, rekonstruksi tentang Timur sering menghasilkan campuran gaya yang tidak selalu mewakili satu lokasi tertentu, melainkan gabungan imajinasi dari wilayah yang lebih luas. “Bentuk-bentuk inspiratif itu biasanya berasal dari Afrika Utara atau Iberia, dengan foto, jurnal masa itu, survei, dan buku-buku bergambar sebagai perantara.”
“Namun ada juga pengaruh tidak langsung, di mana dampak bangunan yang dilihat di pameran dunia dan taman tema muncul dalam arsitektur berikutnya.”













