Opini
PERANG GAZA
5 menit membaca
Mengenang 7 Oktober: Ingatan yang diperebutkan dan konsekuensi yang berlanjut
Dua tahun berlalu, peristiwa 7 Oktober masih menjadi perdebatan sengit. Narasi yang muncul sangat bergantung pada sudut pandang dan penafsiran, membentuk cara dunia memandang Israel, Palestina, serta rapuhnya prospek perdamaian di antara keduanya.
Mengenang 7 Oktober: Ingatan yang diperebutkan dan konsekuensi yang berlanjut
Perebutan makna dalam mengenang peristiwa 7 Oktober terus memecah opini dunia tentang Israel, Palestina, dan masa depan perdamaian. / AP
7 Oktober 2025

7 Oktober 2023 menjadi tanggal yang maknanya terus diperdebatkan hingga kini. Dampaknya masih terasa dalam cara dunia menafsirkan peristiwa dua tahun lalu, sekaligus memengaruhi situasi saat ini.

Peristiwa itu penuh dengan kontroversi, pertanyaan yang belum terjawab, dan fakta yang masih diperdebatkan. Apakah serangan itu harus dilihat sebagai bentuk perlawanan rakyat Palestina terhadap penolakan Israel dan sekutunya menghormati hasil pemilu 2006 yang dimenangkan Hamas? Ataukah itu merupakan reaksi terhadap penindasan berkepanjangan di bawah kebijakan apartheid dan blokade yang kerap disebut sebagai “penjara terbuka terbesar di dunia,” diperburuk oleh serangan militer Israel yang berulang kali menewaskan warga sipil dan menghancurkan infrastruktur di Gaza?

Sebaliknya, ada pula pihak yang menganggap 7 Oktober sebagai serangan tanpa provokasi yang menunjukkan “kebiadaban Hamas”—bahkan, seperti dikatakan Presiden Israel Isaac Herzog, mencerminkan sifat seluruh penduduk Gaza. Namun ada pula teori bahwa Israel sebenarnya telah mengetahui rencana serangan itu dan membiarkannya terjadi untuk melegitimasi proyek “Israel Raya,” dengan memperluas kedaulatan wilayahnya hingga ke Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur, serta memaksa warga Palestina meninggalkan tanah mereka.

Pertanyaan terbesar mungkin adalah apakah respons Israel terhadap 7 Oktober justru menjadi kampanye genosida yang terjadi secara nyata, menyingkap lemahnya hukum internasional dan ketidakberdayaan PBB dalam menegakkan keadilan terhadap pelaku pelanggaran.

Di tengah ketidakpastian itu, reaksi terhadap 7 Oktober terus berkembang—dari dukungan dan kecaman terhadap Israel, hingga pencarian solusi diplomatik untuk gencatan senjata dan pertukaran tahanan. Namun dua tahun kemudian, pertanyaan yang masih menghantui adalah: apakah genosida telah benar-benar berakhir, atau hanya berhenti sementara?

Apakah tahap saat ini akan dikenang dua tahun dari sekarang sebagai masa ketika genosida berakhir, atau hanya tertunda sementara, adalah pertanyaan yang menghantui dan membayangi spekulasi yang berkembang saat ini.

Professor Richard Falk

Masa depan konflik ini tampaknya bergantung pada sikap Amerika Serikat—apakah terus mendukung formula Israel untuk mengakhiri perang, atau menggunakan pengaruhnya untuk mendorong kompromi yang menahan ambisi Israel dan menghormati hak rakyat Palestina.

Tahap I: Beberapa bulan setelah 7 Oktober — Israel mendapat keuntungan dari keraguan dunia

Meskipun para pemimpin Israel, termasuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant, menggunakan bahasa yang dianggap mengandung unsur genosida, istilah “genosida” kala itu masih dianggap tabu untuk menggambarkan tindakan Israel.

Netanyahu mengutip kisah dalam Alkitab tentang bangsa Israel kuno yang memusnahkan suku Amalek sebagai pembenaran atas serangan terhadap Gaza. Sementara Gallant, dalam pernyataan 9 Oktober, menyebut: “Saya memerintahkan pengepungan total terhadap Gaza. Tidak akan ada listrik, makanan, atau bahan bakar... Kita melawan hewan manusia dan akan bertindak sesuai dengan itu.”

Kerusakan besar pun terjadi, menargetkan rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, dan konvoi bantuan kemanusiaan—semuanya dilindungi hukum internasional. Namun di panggung global, Israel tetap mendapat simpati awal. Banyak media besar dan pemerintah Barat menerima narasi serangan “tanpa provokasi” dan mendukung klaim Israel bertindak dalam pembelaan diri.

Honeymoon diplomatik itu berakhir ketika Mahkamah Internasional (ICJ) menerima yurisdiksi atas gugatan Afrika Selatan yang menuduh Israel melanggar Konvensi Genosida. Pada Maret 2024, ICJ mengeluarkan putusan sela yang memerintahkan langkah perlindungan terhadap warga Gaza. Namun Israel menolak mematuhi, didukung Amerika Serikat yang menyebut langkah ICJ “tak berdasar secara hukum.”

Tahap II: Putusan ICJ/ICC dan veto gencatan senjata

Seiring waktu, perhatian dunia beralih ke krisis kemanusiaan di Gaza. Kritik terhadap Israel semakin meningkat, bahkan di negara-negara yang menjadi sekutunya. Tekanan publik meluas setelah ICJ mengeluarkan pendapat penasehat tahun 2024 yang menyatakan pendudukan Israel atas wilayah Palestina ilegal dan menyerukan penarikan pasukan dalam waktu satu tahun.

Majelis Umum PBB mendukung putusan tersebut. Namun Israel mengabaikannya, memperburuk citra globalnya yang kini banyak dipandang sebagai negara koloni pemukim dan pelaku genosida.

Tahap III: Laporan Pillay, diplomasi Trump, dan bayangan pasca-7 Oktober

Pada pertengahan 2025, Komisi Penyelidikan PBB yang dipimpin mantan Komisaris Tinggi HAM Navi Pillay menyimpulkan bahwa serangan Israel di Gaza termasuk tindakan genosida. Kesimpulan ini memperkuat laporan sebelumnya dari Pelapor Khusus PBB Francesca Albanese.

Amerika Serikat bereaksi dengan menjatuhkan sanksi terhadap Albanese dan memblokir inisiatif gencatan senjata di Dewan Keamanan PBB, memperlihatkan posisinya sebagai satu-satunya pendukung terbuka Israel.

Amerika Serikat juga menggunakan hak vetonya untuk memblokir inisiatif gencatan senjata PBB, memperlihatkan perannya yang semakin tidak populer sebagai satu-satunya pendukung terbuka Israel yang tersisa.

Sementara itu, Presiden AS Donald Trump membuat komitmen pribadi untuk mengakhiri konflik di Gaza tanpa membuat Israel tersinggung, dan berhasil memperoleh dukungan dari negara-negara Arab serta mayoritas Muslim untuk membantu upaya tersebut.

Pendekatan Trump memberikan jaminan keamanan dan wilayah yang signifikan bagi Israel, sambil menawarkan langkah-langkah terbatas menuju pemerintahan dan pembangunan bagi Palestina. Inti dari rencana tersebut adalah batas waktu 72 jam bagi Hamas untuk memberikan tanggapan. Bagi Hamas, ini menjadi pilihan sulit: rakyat Gaza yang sudah berada di bawah tekanan luar biasa dapat memperoleh keuntungan jika bekerja sama, tetapi penolakan hampir pasti akan menimbulkan penderitaan kemanusiaan yang parah serta keputusasaan di antara warga Palestina yang selamat.

Dilema beracun itu untuk sementara waktu berhasil diatasi secara bermartabat oleh Hamas. Namun, Israel tetap melanjutkan serangan udara yang menimbulkan banyak korban jiwa — mungkin mencerminkan perpecahan internal dan mengabaikan tekanan Trump agar Israel menghentikan seluruh operasi militer sementara rencana penghentian konflik dijalankan.

Meski banyak perubahan terjadi sejak 7 Oktober 2023 dalam berbagai aspek perilaku Israel dan Palestina, ada empat pola disfungsional yang masih membayangi prospek dua tahun ke depan: dukungan tanpa syarat AS terhadap Israel, penyingkiran rakyat Palestina dari hak representasi diri dan penolakan terhadap hak mereka untuk menentukan nasib sendiri, konsensus bahwa label “teroris” melekat pada Hamas, serta dehumanisasi terhadap rakyat Palestina dalam ideologi Zionis dan struktur apartheid pemerintahan Israel.

Hanya jika keempat persoalan ini disesuaikan secara tepat, interpretasi baru terhadap peristiwa 7 Oktober dapat memperoleh penghormatan yang semestinya.

SUMBER:TRT World