Saat perang Israel di Gaza meletus pada Oktober 2023, lebih dari dua juta warga terjebak dalam isolasi hampir total. Dengan saluran telepon yang terputus dan internet yang berulang kali ditutup oleh pasukan Israel, warga Palestina harus menavigasi lanskap penuh bahaya dan pengungsian, bergantung pada sedikitnya koneksi ke dunia luar.
Dalam kekosongan mematikan itu, medium lawas kembali menegaskan perannya: radio. Dulu dianggap peninggalan abad pertengahan, kini radio menjadi jalur komunikasi terakhir yang tak tergoyahkan di Gaza, menyampaikan berita, menghubungkan orang-orang, dan memberi mereka rasa bahwa mereka masih menjadi bagian dunia—semua melalui perangkat kecil bertenaga baterai, yang muat di telapak tangan.
Di al-Mawasi, Khan Younis, di pesisir Gaza di mana tenda-tenda compang-camping berdiri menanggung beban pengungsian, sebuah radio kecil berdengung pelan di tengah kekacauan.
Sebuah pemancar usang berjuang melawan kebisingan perang. Kadang suara terganggu, tertutup statis; kadang lagu yang familiar terdengar, atau pembacaan nama-nama yang gugur, dibacakan setiap malam seperti litani, mengisi keheningan dengan duka dan kenangan.
Di balik jalur hidup terakhir Gaza ini berdiri Rafat Al-Qudrah, direktur Voice of Palestine dan penyiar veteran.
Ia mengenang bagaimana program stasiun berubah drastis setelah 7 Oktober 2023: “Sebelum perang, Voice of Palestine menyampaikan denyut nadi jalanan Palestina,” ujarnya.
“Kami tidak lagi memiliki kemewahan untuk membuat program hiburan. Tugas kami sekarang adalah memantau situasi secara terus-menerus, mendukung warga, dan meliput cerita-cerita kemanusiaan yang sulit.”
Ia mengatakan kepada TRT World: “Setiap menit di radio menjadi tanggung jawab besar: mendokumentasikan perang, menyampaikan kebenaran, dan menjadi suara Palestina bagi dunia.”
Stasiun radio yang bertahan di Gaza
Beberapa stasiun radio yang tersisa di Gaza, Voice of Palestine, Radio Basma, dan layanan darurat BBC ‘Gaza Daily’, menyiarkan melalui gelombang pendek dan menengah, yang hanya bisa diakses melalui radio saku.
Bebas dari ketergantungan internet, gelombang ini membawa informasi penting.
Melalui radio, warga Gaza mengetahui lokasi konsentrasi serangan udara, kapan konvoi bantuan terbatas tiba, apakah gencatan senjata diperkirakan akan terjadi, dan kadang hanya untuk mendengar lagu yang meredakan ketakutan.
Sebagian besar warga mendengarkan Voice of Palestine, yang menyiarkan pesan nasional dan kenangan mereka yang gugur, menjaga identitas nasional tetap hidup, atau Radio Basma, yang menyiarkan program keagamaan dan kemanusiaan bersama lagu-lagu tradisional Palestina, bertujuan mendekatkan warga Palestina satu sama lain.
Layanan darurat BBC, yang diluncurkan November 2023 sebagai Gaza Daily, menyediakan berita terkini, instruksi keamanan, dan informasi distribusi bantuan dari Kairo dan London, dengan siaran harian pukul 05:00 GMT dan 15:00 GMT.
Para jurnalis yang terus bekerja di bawah ancaman serangan udara Israel menyadari bahwa suara mereka bisa menentukan hidup atau mati, atau isolasi dan reuni.
Iyad Abu Shawish, penyiar Basma Radio, mengatakan kepada TRT World: “Setiap hari kami datang ke studio tanpa tahu apakah akan selamat keluar. Tapi kami percaya orang-orang membutuhkan suara kami. Kami membaca nama-nama syuhada, mengumumkan lokasi distribusi roti dan air, dan kadang memutar lagu untuk memberi mereka sedikit harapan.”
Al-Qudrah mengatakan meski selalu berada dalam bahaya, ia dan rekan-rekannya tetap bekerja dari studio darurat di ruang tamu rumah yang tersisa atau di dalam tenda.
Kantor sebelumnya telah berulang kali menjadi target Israel, dan beberapa peralatan mereka hancur akibat serangan udara. Namun mereka terus bertahan.
“Kami mencoba beradaptasi,” ujarnya. “Kami menggunakan suku cadang lama, meminjam peralatan dari institusi lain, bahkan menyiarkan dari rumah atau fasilitas sementara. Siaran di masa perang membutuhkan kreativitas dan tekad.”
Saat saluran listrik terganggu akibat serangan udara, peralatan menjadi rentan. Insinyur memanfaatkan suku cadang lama, melindungi antena dengan plastik, dan mengandalkan aki mobil ketika bahan bakar generator habis.
Nabil Sanouno, teknisi di Radio Palestine, mengatakan: “Setiap siaran adalah aksi perlawanan. Jika antena jatuh, kami memanjat dan memperbaikinya—meski harus mempertaruhkan nyawa.”
Gelombang sejarah
Radio telah lama menelusuri sejarah Palestina, menyaksikan perjuangan dan ketahanan.
Selama Mandat Inggris di 1930-an, Palestine Broadcasting Service (PBS) beroperasi di bawah pengawasan kolonial, programnya disensor ketat.
Setelah Nakba 1948, PBS dibubarkan, dan warga Palestina menunggu empat dekade untuk mendirikan layanan lokal baru.
Pada 1994, setelah Perjanjian Oslo, Palestinian Broadcasting Corporation (PBC) didirikan. Dikenal sebagai Voice of Palestine, layanan ini bertahan menghadapi bombardemen Intifada Kedua, ketika serangan udara Israel menghancurkan peralatannya di Al Shujaiah, Gaza City, pada 2002. Radio ini menyiarkan melalui gelombang pendek sejak saat itu.
Sepanjang sejarah, radio menjadi jalur hidup saat perang. Pada Perang Dunia II, stasiun bawah tanah menyampaikan pesan tersandi kepada kelompok perlawanan. Di Bosnia 1990-an, siaran lokal menjaga komunitas yang terkepung tetap terhubung.
Voice of Palestine selalu dicurigai oleh otoritas Israel, dituduh memicu ketahanan selama periode pemberontakan Palestina.
Kini, sekali lagi, saat warga Gaza menghadapi pemadaman komunikasi yang panjang, stasiun radio lokal menegaskan kembali perannya dalam masyarakat Palestina sebagai alat perlawanan dan suara yang sulit dibungkam.
Dimensi sosial radio
Di Gaza, radio bukan sekadar media berita; ia menjadi teman dan penenang. Mendengarkan suara penyiar yang familiar meredakan kecemasan dan isolasi akibat pengepungan.
“Saya tidak pernah membayangkan radio akan menjadi satu-satunya sumber informasi kami,” kata mahasiswa Liyaan Atallah, yang mengungsi dari Gaza tengah ke Kamp Mawasi di Khan Younis. “Tanpa internet, saya merasa buta, tapi radio memberi saya sedikit penglihatan kembali. Ia menjadi satu-satunya suara kami.”
Beberapa program memungkinkan pendengar menelepon atau mengirim pesan tulisan tangan untuk kerabat.
“Pesan yang paling sering kami terima adalah pesan keteguhan dan doa,” kata Al-Qudrah. “Pendengar berkata, ‘Kalian adalah suara kami, jangan tinggalkan kami.’ Beberapa hanya meminta namanya disebut di udara agar tahu mereka masih hidup dan teguh. Momen-momen ini sangat mengharukan; membuat kami merasa bahwa kami bukan hanya stasiun radio, tapi jalur hidup bagi masyarakat.”
Radio juga penting bagi ibu-ibu Palestina. Ia mengumumkan lokasi distribusi makanan dan obat terbatas, serta menyediakan lagu dan cerita untuk anak-anak, menciptakan sedikit rasa normal di tengah kekacauan.
Di dalam tenda rapuh yang ia dirikan setelah rumahnya hancur, Umm Muhammad, ibu 42 tahun dari Khan Younis, duduk dengan radio tua di sampingnya.
“Radio telah menjadi teman kami,” ujarnya. “Di malam hari kami menaruhnya di dekat bantal, mendengarkan berita, mencoba memahami apa yang akan terjadi besok.”
Namun mendengarkan radio tidak selalu mudah. “Kadang baterai habis, dan sering kami tidak bisa menemukan yang baru. Tidak ada listrik untuk mengisi perangkat, jadi kami terpaksa mematikannya berjam-jam meski sangat membutuhkannya.”
Anak-anaknya bahkan lebih menempel pada radio daripada dia. “Mereka menunggu segmen musik dengan antusias,” katanya sambil tersenyum lelah. “Mereka menyukai lagu seperti Mawtini dan Zahrat al-Mada’in. Saat mendengar musik, mereka bernyanyi sekuat tenaga. Sesaat, mereka lupa ketakutan dan suara pesawat.”
Di Gaza, radio terbukti menjadi alat demokratis yang menjangkau semua orang, dari pengungsi di tenda dan tempat penampungan darurat, hingga warga di utara yang memilih bertahan. Ia menghubungkan pengungsi di tenda, pasien rumah sakit, bahkan beberapa keluarga yang menyimpan rekaman siaran sebagai arsip pribadi. Radio menjadi arsip nasional hidup, mencatat detail kehidupan di masa perang, dari daftar syuhada hingga lagu-lagu populer.
“Voice of Palestine akan tetap lantang, tak peduli seberapa hebat perang berlangsung,” kata Al-Qudrah. “Bagi kami, radio adalah jalur hidup yang menyampaikan penderitaan dan keteguhan rakyat Gaza ke dunia. Suara kami lebih kuat daripada perang.”