Opini
DUNIA
4 menit membaca
Tatanan dunia alternatif Beijing: Multilateralisme sebagai jawaban China atas AS
Saat China menyerukan reformasi multilateralis di UNGA, mungkinkah visinya untuk tata kelola global menjadi alternatif yang layak bagi tatanan yang dipimpin AS?
Tatanan dunia alternatif Beijing: Multilateralisme sebagai jawaban China atas AS
Persaingan antara AS dan China terus berlanjut di panggung tata kelola global [Foto: REUTERS/Dado Ruvic/Ilustrasi]
20 Oktober 2025

Dalam Debat Umum Sidang ke-80 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Perdana Menteri China Li Qiang memperingatkan bahwa kebangkitan “mentalitas Perang Dingin” dan langkah-langkah kekuasaan sepihak mendorong dunia menuju pembelahan lebih besar, menekankan rivalitas Beijing dengan Washington.

Ia menyerukan kerja sama multilateralis yang lebih kuat, reformasi untuk memperkuat suara negara berkembang, dan berjanji memberikan pendanaan baru bagi Global South. Li menegaskan bahwa visi alternatif ini menawarkan tatanan internasional yang lebih damai, inklusif, dan sejahtera.

Dengan langkah ini, China memposisikan diri sebagai alternatif menonjol bagi kepemimpinan tata kelola global yang dipimpin AS.

Selama beberapa dekade, para ilmuwan telah memperdebatkan apakah China akan sepenuhnya terintegrasi dalam tatanan internasional yang ada, yang biasanya disebut sebagai “Klub Barat”.

Negara-negara berkembang sering berada di pinggiran tatanan internasional, merasa tersisih karena keterbatasan representasi dan pengaruh mereka.

Kekecewaan mereka inilah yang mendorong tuntutan reformasi.

China memposisikan dirinya sebagai pembela ‘multilateralisme sejati’ dan Global South, menyerukan reformasi untuk memberi negara berkembang suara yang lebih kuat di lembaga-lembaga internasional.

“Hanya ketika semua negara, besar atau kecil, diperlakukan setara dan multilateralisme sejati dijalankan, hak dan kepentingan semua pihak dapat lebih terlindungi,” kata Perdana Menteri Li Qiang dalam pidatonya di UNGA.

Dalam praktiknya, China mempromosikan kerangka kerja sendiri, seperti Global Development Initiative, Global Security Initiative, Global Civilization Initiative, dan Global Governance Initiative.

Inisiatif-inisiatif ini diposisikan sebagai model tandingan atau pelengkap bagi institusi yang dipimpin AS.

Di UNGA, Perdana Menteri China juga menegaskan kembali pernyataannya dari KTT ASEAN-China-GC 2025, mengecam ‘politik blok’ dan “perilaku hegemonik”.

Perang tarif dan taktik sepihak, menurutnya, mengancam tatanan internasional dan merusak pertumbuhan.

Perintah Presiden AS Donald Trump terkait serangkaian tarif impor telah menimbulkan ketidakpastian bagi ekonomi global.

Sebaliknya, Li mendorong keterbukaan, pembangunan, dan kerja sama antarperadaban: “Isolasi diri tidak dapat menghasilkan pembangunan berkelanjutan. Hanya melalui keterbukaan dan kerja sama kita dapat memperkuat momentum pembangunan.”

Pendekatan ini melampaui perdagangan.

China kini mengadopsi pendekatan multilateralisme yang lebih luas, menangani isu-isu seperti perubahan iklim, keamanan pangan, tata kelola digital, dan pembangunan antar-masyarakat.

Dengan langkah ini, Li berupaya menampilkan China sebagai kekuatan konstruktif dalam politik internasional, mempromosikan inisiatif pembangunan dan keamanan China sebagai model kerja sama.

Ia mengumumkan pembentukan China-UN Global South-South Development Facility untuk mendukung pembangunan Selatan-Selatan, dengan kontribusi awal US$10 juta, serta rencana pusat global untuk pembangunan berkelanjutan di Shanghai guna mendorong implementasi Agenda Pembangunan Berkelanjutan PBB 2030.

Langkah-langkah ini bukan sekadar tindakan kedermawanan.

Ini bagian dari upaya China lebih luas untuk memenangkan pengaruh di antara negara berkembang dan membentuk ulang lembaga multilateralis agar mencerminkan prioritas non-Barat.

Reformasi atau Rivalitas?

Kontras dengan Amerika Serikat sangat jelas. Donald Trump, misalnya, mengkritik bantuan PBB untuk pencari suaka dan kebijakan iklim negara lain, termasuk China, karena menghasilkan lebih banyak CO2 daripada seluruh negara maju lainnya, menggambarkan lembaga itu sebagai tidak efektif dan bermusuhan dengan kepentingan AS.

Sebaliknya, Li menampilkan China sebagai negara damai, terbuka, dan kooperatif.

Negara yang ingin membangun komunitas untuk menjaga peran sentral PBB sebagai institusi inti tata kelola global.

Rivalitas antara AS dan China terus berlangsung di panggung tata kelola global.

Beijing berupaya menampilkan diri sebagai pembela “multilateralisme sejati” dan Global South melawan unilateralisme dan proteksionisme Washington.

Melalui inisiatif yang fokus pada pembangunan, digitalisasi, dan keberlanjutan, China tidak hanya memposisikan diri sebagai alternatif kepemimpinan AS, tetapi juga sebagai pendukung model kerja sama internasional yang berbeda.

“China berharap bekerja sama dengan dunia untuk menegakkan cita-cita PBB, meneruskan semangat multilateralisme, [...] maju menuju tujuan luhur membangun komunitas dengan masa depan bersama bagi umat manusia, dan menjadikan dunia kita lebih harmonis dan indah,” kata Perdana Menteri Li Qiang dalam pidatonya di UNGA.

Apakah China dapat menepati janjinya membangun tatanan internasional yang lebih “harmonis dan inklusif” di masa-masa penuh tantangan ini masih harus dilihat.

SUMBER:TRT World