Washington, DC — Volodymyr Zelenskyy tiba di Washington di tengah perang yang masih berkecamuk dan Gedung Putih yang kini tampak lebih terbuka untuk mendengarkan.
Pertemuan Zelenskyy dengan Presiden Donald Trump pada Jumat mendatang diprediksi menjadi yang paling penting sejauh ini — momen yang berpotensi mengubah arah perang antara Ukraina dan Rusia.
Selama berbulan-bulan, Trump kerap berbicara tentang mengakhiri perang melalui sebuah “kesepakatan.” Namun sikapnya tampak berubah sejak pertemuan puncak dengan Presiden Rusia Vladimir Putin pada Agustus lalu berakhir tanpa hasil.
Dalam pertemuannya baru-baru ini dengan Presiden Argentina Javier Milei, Trump memberikan sinyal paling jelas sejauh ini: bahwa Amerika Serikat bisa saja mempersenjatai Ukraina dengan rudal jelajah Tomahawk jika Moskow menolak bernegosiasi.
Zelenskyy berusaha mengubah sinyal itu menjadi komitmen nyata. Dalam pembicaraannya nanti, pemimpin Ukraina itu akan menekan AS untuk memberikan Tomahawk serta sistem pertahanan udara Patriot — sebuah pertemuan yang digambarkan para pejabat sebagai “sangat berorientasi pada hasil.”
Seorang sumber senior Ukraina mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa “topik utama pembahasan adalah Tomahawk. Tentu saja, juga ada isu Patriot.”
Sementara itu, Presiden Trump berbicara lewat telepon dengan Putin pada Kamis, dan menyebut bahwa telah terjadi “kemajuan besar,” terutama terkait perkembangan terbaru di Ukraina. Percakapan tersebut berlangsung sehari sebelum pertemuannya dengan Zelenskyy di Gedung Putih.
Trump menambahkan bahwa ia akan bertemu Putin di Hongaria untuk mencoba menyelesaikan perang Rusia-Ukraina, meski tanggalnya belum ditentukan.
Pihak Kremlin menyebut panggilan itu berlangsung “sangat terbuka dan penuh kepercayaan.” Putin memperingatkan Trump bahwa pengiriman rudal Tomahawk ke Kiev akan merusak hubungan Moskow–Washington dan menghambat proses perdamaian, meski tidak akan mengubah situasi di medan perang.
Sinyal politik
Selama ini, dukungan militer Washington tetap berhati-hati. Trump belum menyetujui pengiriman langsung senjata baru ke Ukraina, melainkan mendorong sekutu AS untuk membeli dan mengalihkan senjata tersebut melalui mekanisme baru bernama Prioritised Ukraine Requirements List (PURL).
Kebijakan ini memungkinkan Amerika tetap menjaga jarak dari konflik, sambil memastikan industri pertahanannya tetap berada di pusat rantai pasok global.
Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth menegaskan kembali pendekatan itu pekan ini di markas NATO, mendesak para sekutu untuk mempercepat pembelian melalui PURL dan memperingatkan akan adanya “konsekuensi bagi Rusia atas agresinya yang berlanjut.”
Namun Kiev menginginkan lebih dari sekadar koordinasi — mereka menginginkan kemampuan nyata.
Seorang pejabat tinggi Ukraina mengatakan Zelenskyy akan mencari sinyal politik bahwa Gedung Putih siap mempersenjatai Ukraina dengan Tomahawk, bahkan jika senjata itu secara formal dibeli oleh sekutu.
“Mereka butuh sinyal politik,” kata sumber tersebut. “Cukup untuk membuat Putin merasakannya.”
Rudal Tomahawk, yang biasanya diluncurkan dari kapal perang atau kapal selam, mampu menghantam target sejauh lebih dari 1.500 kilometer.
Pejabat Ukraina mengatakan mereka telah mengembangkan solusi teknis agar rudal ini bisa diluncurkan dari darat. Jika disetujui, Tomahawk akan menempatkan Moskow dan pangkalan utama Rusia dalam jangkauan serangan Ukraina untuk pertama kalinya.
Di Kiev, Tomahawk kini menjadi simbol kesetaraan strategis — sekaligus ujian atas sejauh mana Amerika bersedia melangkah melewati “garis merahnya” sendiri.
Penasihat Zelenskyy, Mykhailo Podolyak, menulis di platform X bahwa strategi baru Ukraina adalah “menaikkan biaya perang” bagi Rusia melalui “rudal jelajah, produksi drone bersama, dan pertahanan udara yang lebih kuat.” Ia menambahkan, “Kami ingin perdamaian, maka kami harus menunjukkan kekuatan hingga ke jantung Rusia.”
Saat dunia mulai lelah
Meski begitu, permintaan Ukraina tergolong besar. “Mega Deal” yang dilontarkan Zelenskyy bulan lalu mencakup bantuan senjata AS senilai 90 miliar dolar — kemitraan militer dalam skala yang belum pernah terlihat sejak era Perang Dingin.
Pertemuan antara Trump dan Zelenskyy terjadi di tengah kelelahan geopolitik global.
Banyak analis menilai persatuan Eropa mulai retak. Polandia dan Estonia menuduh Rusia melanggar wilayah udara mereka, sementara pejabat Jerman dan Denmark tengah menyelidiki insiden drone misterius di atas Laut Baltik. Sayap timur NATO pun berada dalam kewaspadaan tinggi. Moskow membantah keterlibatan.

Apakah perubahan nada Trump akan berujung pada tindakan nyata kemungkinan akan bergantung pada jabat tangan di hari Jumat itu.
Kedua pemimpin sama-sama membutuhkan kemenangan: Zelenskyy untuk menenangkan rakyatnya yang lelah perang, dan Trump untuk menegaskan kembali kendalinya atas kebijakan luar negeri yang selama ini kerap berayun antara kekaguman dan kejengkelan terhadap Putin.
“Kami telah menyiapkan seluruh bahan kami untuk pertemuan dengan Presiden Trump pada 17 Oktober — baik komponen militer maupun ekonomi. Semua detail sudah siap. Agenda pertemuan kami sangat substansial,” ujar Zelenskyy dalam pidato malamnya pada Rabu.
Saat Trump bersiap menyambut Zelenskyy di Gedung Putih, panggilan telepon dengan Putin telah menimbulkan secercah harapan hati-hati di mata komunitas internasional.
Namun apakah pembicaraan ini akan membawa perdamaian yang langgeng — atau hanya menjadi jeda sementara dalam perang brutal yang telah berlangsung hampir empat tahun, menewaskan sekitar 260.000 hingga 390.000 orang dan melukai lebih dari sejuta lainnya — masih menjadi tanda tanya besar.