Washington, DC — Pemungutan suara yang seharusnya membuka kembali pemerintahan Amerika Serikat setelah penutupan selama 40 hari justru membuka retakan besar di tubuh Partai Demokrat.
Delapan senator Demokrat — Catherine Cortez Masto, Dick Durbin, John Fetterman, Maggie Hassan, Jacky Rosen, Tim Kaine, Angus King, dan Jeanne Shaheen — menyeberang mendukung Partai Republik untuk mengakhiri kebuntuan pemerintahan.
Langkah itu memberi kemenangan simbolis bagi Presiden Donald Trump dan memicu badai di dalam partai sendiri.
Kaum progresif menuduh mereka menyerah, sementara kelompok moderat beralasan mereka berupaya menyelamatkan pekerjaan. Pimpinan partai menyerukan ketenangan, tetapi tampak jelas bahwa barisan Demokrat sedang goyah.
“Masalah mendasar Partai Demokrat adalah basis pemilihnya yang sempit, didominasi kalangan berpendidikan tinggi dan berpenghasilan tinggi; jumlah mereka tidak cukup untuk memenangkan pemilu nasional secara konsisten,” kata David N. Gibbs, profesor sejarah dan pakar politik AS dari University of Arizona, kepada TRT World.
“Dulu tidak seperti ini,” tambahnya. “Hingga 1970-an, Demokrat memiliki basis besar dari kalangan pekerja, ditopang oleh serikat buruh kuat yang diwarisi dari era New Deal Roosevelt.”
Ikatan itu mulai rapuh ketika partai mendukung globalisasi, perdagangan bebas, dan deregulasi keuangan pada 1980-an. Demokrat mulai berbicara dengan bahasa pasar, bukan pabrik; tentang target iklim, bukan tambang batu bara.
“Setelah 1980,” kata Gibbs, “partai bergerak ke arah kebijakan pasar bebas yang merugikan pekerja, dibarengi gaya komunikasi elitis tentang isu gender, ras, dan seksualitas yang tak banyak menarik simpati luas.”
Hasilnya adalah partai yang tak lagi berbagi bahasa yang sama. Di satu sisi, tokoh progresif seperti Bernie Sanders, Alexandria Ocasio-Cortez, dan Pramila Jayapal menegaskan bahwa satu-satunya cara menghadapi Trumpisme adalah lewat kejelasan moral dan politik kelas. Kompromi, bagi mereka, adalah bentuk kepengecutan.
Di sisi lain, senator seperti Joe Manchin dan John Fetterman menyerukan pragmatisme, memperingatkan bahwa konfrontasi justru membuat pemilih moderat menjauh.
Di antara keduanya, pemimpin seperti Chuck Schumer dan Hakeem Jeffries berupaya menjaga kesatuan partai yang semakin sulit disatukan.
Pemungutan suara di Senat yang mengakhiri kebuntuan pemerintahan menyingkap seluruh keretakan itu. Kaum progresif meluapkan kemarahan di media sosial, menyebut kesepakatan itu sebagai “hadiah bagi Trump.”
Anggota DPR Demokrat Ritchie Torres menyebutnya “penyerahan tanpa syarat yang mengkhianati 24 juta warga Amerika yang akan melihat premi asuransi mereka melonjak dua kali lipat.”
Sementara Wali Kota terpilih New York, Zohran Mamdani, menilai kesepakatan itu — dan para senator yang mendukungnya — “harus ditolak.”
Krisis identitas yang terselubung strategi
Tiga puluh tiga kursi Senat akan diperebutkan dalam pemilu paruh waktu tahun depan, dan Demokrat tengah berjuang mempertahankan serta merebut kembali kursi-kursi penting.
Seiring kabar kesepakatan tersebar, sejumlah calon Demokrat untuk kursi terbuka — Graham Platner di Maine, Mallory McMorrow di Michigan, serta Zach Wahls dan Nathan Sage di Iowa — mengkritik kepemimpinan Chuck Schumer.
Sebagai pemimpin minoritas Senat, Schumer menentang RUU tersebut karena dianggap gagal melindungi akses kesehatan, namun ia juga tak mampu meredam kritik dari dalam partai.
“Chuck Schumer kembali gagal menjalankan tugasnya,” ujar Platner dalam video di platform X. “Kita butuh pemimpin yang mau berjuang.”
Kelompok moderat membalas, menegaskan bahwa pemerintahan yang nyata membutuhkan kompromi, bukan drama politik. Fetterman membela keputusannya, dengan mengatakan, “Menutup pemerintahan tidak pernah menjadi langkah yang benar bagi kita.”
Senator Jeanne Shaheen menambahkan, “Selama 40 hari terakhir, kita memperjelas pertarungan soal layanan kesehatan bagi rakyat Amerika dan menunjukkan siapa yang sebenarnya menghambatnya.”
“Itu adalah Presiden Donald Trump, Ketua DPR Mike Johnson, dan Partai Republik yang menolak mengambil langkah untuk menekan biaya kesehatan,” ujarnya.
Bagi Gibbs, pembelaan Demokrat menunjukkan sesuatu yang lebih dalam — krisis identitas yang tersamarkan sebagai strategi politik. “Meski Trump tidak populer, Partai Demokrat bahkan lebih tidak disukai,” katanya.
“Dukungan dari kalangan pekerja semakin menurun, dan mereka kini lebih banyak memilih Partai Republik.”
Banyak yang melihat elit politik Demokrat fasih berbicara soal inklusi, tetapi jauh dari penderitaan ekonomi rakyat.
Pesan Trump, sebaliknya, emosional dan langsung. Demokrat, yang terjebak antara sikap moral dan kebutuhan pragmatis, terdengar terpecah bahkan saat berusaha bersatu.
“Banyak di partai ini menyadari masalah itu dan berupaya memperluas basis elektoral mereka,” ujar Gibbs.
‘Tantangan berat bagi Demokrat’
Sebagian pengamat menilai Demokrat masih bisa bangkit dari pertikaian ini.
“Perselisihan seputar kesepakatan itu akan segera mereda, dan menjelang pemilu paruh waktu nanti, Demokrat akan fokus menyerang Partai Republik terkait isu kesehatan,” kata Matt Bennett, salah satu pendiri lembaga kajian Third Way di Washington, DC.
Peta terbaru dari Newsweek menunjukkan Demokrat mulai menutup ketertinggalan dalam perebutan distrik nasional menjelang pemilu sela 2026.
Menurut The Economist, Demokrat berpeluang besar merebut kembali Dewan Perwakilan pada November tahun depan — yang akan menandai berakhirnya fase legislatif masa jabatan Trump dan memulai periode penyelidikan kongres.
Pemimpin Fraksi Demokrat di DPR, Hakeem Jeffries, menyatakan yakin partainya akan merebut kembali DPR pada pemilu sela 2026 dan optimistis dapat menguasai kembali Senat.
Namun, di tengah upaya merebut kekuasaan itu, perpecahan internal terus tampak ke permukaan.
Delapan senator yang menyeberang mungkin telah membuka jalan untuk mengakhiri kebuntuan pemerintahan, tapi mereka juga membuka kembali luka lama.
Seperti dikatakan Gibbs, “Ini akan menjadi tantangan berat bagi Demokrat untuk membangun kembali citra mereka.” Pertanyaan sesungguhnya, katanya, “apakah mereka masih tahu untuk apa mereka berjuang.”






















