Arab Saudi, Rusia, dan enam anggota utama aliansi OPEC+ lainnya diperkirakan akan sepakat menaikkan produksi minyak mentah saat menggelar pertemuan virtual pada Minggu. Namun, para analis masih berbeda pendapat soal seberapa besar kenaikan yang akan diputuskan.
Pertemuan delapan negara penghasil minyak yang dikenal sebagai “Voluntary Eight” (V8) ini berlangsung di tengah pelemahan harga minyak selama sepekan terakhir dan spekulasi adanya rencana peningkatan produksi hingga 500 ribu barel per hari (bph).
Menanggapi laporan media yang disebut “tidak akurat dan menyesatkan,” Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dalam pernyataan Selasa lalu meminta media “lebih berhati-hati agar tidak memicu spekulasi” di pasar.
Sebelumnya, para analis memperkirakan OPEC+ hanya akan menaikkan produksi sebesar 137 ribu bph mulai November, mengikuti tren kenaikan bulan Oktober. Namun, analis Commerzbank, Barbara Lambrecht, mengingatkan masih ada ketidakpastian karena “kelompok ini kerap membuat kejutan dengan menaikkan produksi secara cepat dalam beberapa waktu terakhir.”
OPEC+ memang mempercepat laju peningkatan produksi sejak awal tahun ini, setelah sebelumnya menahan pasokan untuk menjaga harga tetap tinggi di tengah penurunan permintaan global.

Harga minyak terus menurun
Dalam beberapa bulan terakhir, OPEC+ mengubah strategi dengan meningkatkan produksi demi mempertahankan pangsa pasar di tengah melonjaknya pasokan dari negara lain. Badan Energi Internasional (IEA) mencatat, produksi dari Amerika Serikat, Brasil, Kanada, Guyana, dan Argentina kini berada di level tertinggi sepanjang sejarah.
Meski begitu, IEA menilai permintaan global terhadap minyak mentah masih stabil, dengan pertumbuhan sekitar 700 ribu bph yang diproyeksikan berlangsung hingga 2026.
Sebaliknya, OPEC lebih optimistis dengan memperkirakan peningkatan permintaan global sebesar 1,3 juta bph pada 2025 dan 1,4 juta bph pada 2026.
Analis dari PVM, Tamas Varga, menyebut tanda-tanda kelebihan pasokan yang sudah lama dikhawatirkan “mulai terlihat jelas di pasar.”
Kondisi itu mendorong harga minyak mentah Brent — acuan global untuk minyak — anjlok hingga di bawah 65 dolar AS per barel, turun sekitar delapan persen dalam sepekan terakhir.
Posisi Rusia serba sulit
Rusia, produsen terbesar kedua di OPEC+ setelah Arab Saudi, disebut kemungkinan menolak kenaikan kuota produksi dalam jumlah besar mulai bulan depan, karena khawatir langkah itu akan semakin menekan harga minyak.
Analis Rystad Energy, Jorge Leon, mengatakan Rusia sangat bergantung pada harga tinggi untuk membiayai operasi militernya. Berbeda dengan Riyadh, Moskow memiliki keterbatasan untuk menaikkan produksi karena sanksi Barat.
Saat ini Rusia memproduksi sekitar 9,25 juta bph, dengan kapasitas maksimal 9,45 juta bph — lebih rendah dibanding sekitar 10 juta bph sebelum perang, kata Homayoun Falakshahi dari Kpler kepada AFP.
Selain itu, serangan Ukraina terhadap kilang minyak Rusia sejak Agustus membuat ekspor minyak mentah Rusia meningkat. “Karena minyaknya tak bisa diolah di dalam negeri, Rusia semakin bergantung pada penjualan ke pasar luar,” ujar Arne Lohmann Rasmussen dari Global Risk Management.