Pada tengah malam 1 Oktober, pemerintahan federal Amerika Serikat resmi memasuki shutdown sebagian, ini merupakan pertama sejak krisis 35 hari pada 2018–2019.
Shutdown ini dipicu kegagalan Kongres meloloskan rancangan anggaran untuk 2026. Akibatnya, berbagai layanan federal yang dikategorikan “non-esensial” dihentikan, sementara ratusan ribu pegawai federal dirumahkan tanpa kepastian kapan bisa kembali bekerja.
Berikut penjelasan tentang alasan dan dampak yang disebut para ahli sebagai aksi sabotase diri pemerintah AS.
Apa itu “shutdown”?
Secara sederhana, shutdown pemerintahan AS berarti adanya kekosongan anggaran.
Di banyak negara lain, kegagalan meloloskan anggaran biasanya berujung pada pemilu baru di bawah sistem parlementer.
Namun, pemerintahan AS berbeda. Cabang legislatif (Kongres) memegang kendali anggaran, sementara badan eksekutif menggunakannya untuk membiayai program pemerintah.
Perbedaan historis antara Partai Republik dan Partai Demokrat di Kongres, yang terdiri dari DPR dan Senat, kerap berujung kebuntuan setiap beberapa tahun. Kondisi inilah yang membuat lembaga federal kehilangan dasar hukum untuk membelanjakan uang pajak.
Secara teknis, shutdown terjadi ketika Kongres gagal meloloskan 12 RUU belanja tahunan atau “resolusi lanjutan” sebelum tahun fiskal berakhir pada 30 September.
Fungsi “esensial” seperti pengaturan lalu lintas udara tetap berjalan, tetapi sebagian besar pemerintahan federal lumpuh.
Layanan federal lain yang dianggap penting—seperti perlindungan jiwa, kesehatan, dan properti—tetap beroperasi. Misalnya, personel militer aktif dan agen FBI tetap bekerja, meski tanpa gaji langsung.
Sebaliknya, pegawai federal yang menangani layanan “non-esensial” berhenti bekerja. Petugas taman nasional dirumahkan, inspektur makanan diminta pulang, museum ditutup, dan pemrosesan paspor tertunda.
Seberapa besar biayanya?
Setiap kali shutdown terjadi, ekonomi terbesar dunia itu merugi jutaan dolar setiap jam.
Sebagai contoh, shutdown 2018–2019 membuat perekonomian AS kehilangan 3 miliar dolar karena masyarakat menunda belanja akibat gaji yang tertunda.
Sekitar 1,4 juta pekerja esensial terpaksa bertahan hidup tanpa gaji, membuat banyak orang harus menguras tabungan atau berutang.
Sebuah undang-undang pada 2019 menjamin seluruh pegawai yang dirumahkan akan menerima gaji mereka setelah pemerintahan kembali beroperasi.
Kantor Anggaran Kongres (CBO) memperkirakan sekitar 750 ribu pegawai federal bisa dirumahkan setiap hari selama shutdown saat ini, dengan total biaya kompensasi mencapai sekitar 400 juta dolar per hari.
Bagaimana bisa terjadi?
Asal mula shutdown merujuk pada Undang-Undang Anggaran Kongres 1974, yang mewajibkan pengesahan 12 RUU alokasi anggaran sebelum 1 Oktober—syarat yang jarang dipenuhi para wakil rakyat karena kebuntuan politik yang tak berkesudahan di Washington, DC.
Setiap September, menjelang tenggat waktu, negosiasi biasanya memanas. Kantor Manajemen dan Anggaran, yang bertugas menjalankan agenda presiden di seluruh cabang eksekutif, menginstruksikan lembaga federal untuk menyiapkan rencana darurat jika Partai Republik dan Demokrat gagal mencapai kesepakatan.
Pegawai kemudian diklasifikasikan sebagai “excepted” (esensial) atau “furloughed” (dirumahkan).
Tepat tengah malam 1 Oktober, semua operasi tanpa dana berhenti, sementara pegawai federal yang dirumahkan hanya bisa pasrah.
Sejak 1976, ketika Kongres mengadopsi mekanisme anggaran saat ini, shutdown sudah terjadi sebanyak 21 kali.
Shutdown terpanjang berlangsung pada masa jabatan pertama Presiden Donald Trump, ketika Partai Demokrat dan Republik bersitegang soal pendanaan 5,7 miliar dolar untuk pembangunan tembok perbatasan AS–Meksiko.
Mengapa bisa terjadi?
Shutdown pemerintahan AS mencerminkan polarisasi ekstrem mengenai prioritas belanja antara dua partai besar.
Sejak 1990-an, shutdown berubah menjadi alat permainan politik, ketika partai minoritas menggunakan ancaman itu untuk menekan partai yang sedang berkuasa.
Kritikus menyebut praktik ini seperti penyanderaan, sementara pendukungnya menganggap sebagai bentuk disiplin fiskal.
Shutdown kali ini dipicu perdebatan antara Partai Republik dan Demokrat mengenai kebijakan kesehatan.
Partai Republik ingin meloloskan rancangan undang-undang yang mempertahankan tingkat pendanaan pemerintah selama tujuh minggu ke depan, sembari merundingkan detail anggaran jangka panjang bersama Partai Demokrat.
Namun, Demokrat bersikeras agar setiap RUU belanja baru memperpanjang subsidi asuransi kesehatan yang diperluas melalui Affordable Care Act, atau yang lebih dikenal sebagai Obamacare, program yang diwarisi dari mantan Presiden Barack Obama. Subsidi ini akan segera kedaluwarsa bila tidak diperpanjang.
Selain itu, Demokrat juga menuntut agar RUU anggaran mencabut pemotongan dana Medicaid yang dilakukan Presiden Trump. Medicaid adalah program federal yang memberi jaminan kesehatan bagi jutaan warga Amerika, termasuk orang dewasa berpenghasilan rendah, anak-anak, ibu hamil, lansia, dan penyandang disabilitas.
“Shutdown” sebagai alat menghukum lawan politik
Pemerintahan Trump berencana “memaksimalkan penderitaan” akibat shutdown bagi lawan-lawannya dengan menghentikan miliaran dolar dana ke negara bagian yang dipimpin Partai Demokrat.
Di saat yang sama, pemerintahan Trump juga dikabarkan tengah menyusun rencana untuk memberhentikan banyak pegawai negeri sipil, demi mewujudkan agenda “pemerintahan ramping” dengan jumlah pegawai lebih sedikit.
Trump bahkan berjanji akan melakukan “hal-hal yang tak bisa dibalikkan, yang merugikan” sebagai bentuk pembalasan saat shutdown diberlakukan.
“Kami akan memberhentikan banyak orang, dan mereka itu Demokrat, mereka akan terkena dampaknya,” kata Trump, seraya menambahkan bahwa “banyak hal baik bisa muncul dari shutdown.”