Akankah Trump benar-benar memutus hubungan jika Israel lanjutkan aneksasi Tepi Barat?
PERANG GAZA
6 menit membaca
Akankah Trump benar-benar memutus hubungan jika Israel lanjutkan aneksasi Tepi Barat?Netanyahu mungkin tengah mengulur waktu dengan menunda langkah aneksasi ilegal. Bagi Trump, ini juga bisa soal momen yang tepat.
Presiden AS Donald Trump tidak senang dengan keputusan sepihak Israel mulai dari serangan Qatar hingga aneksasi Tepi Barat yang diduduki. / AP
11 jam yang lalu

Ketika Presiden Donald Trump mengancam akan menarik dukungan Amerika Serikat terhadap Israel atas rencana Tel Aviv untuk menganeksasi wilayah pendudukan Tepi Barat, ia menantang inti kebijakan lama Washington terhadap negara Zionis itu — dukungan tanpa syarat yang tak tergoyahkan.

Ancaman Trump muncul bersamaan dengan langkah parlemen Israel — yang didukung oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu serta sekutunya dari kubu sayap kanan dan ultranasionalis — menggelar pemungutan suara awal untuk melanjutkan rancangan undang-undang aneksasi Tepi Barat.

Langkah itu memicu kemarahan Washington, yang khawatir tindakan Israel dapat mengancam gencatan senjata rapuh di Gaza. Kesepakatan itu sebelumnya berhasil dicapai Trump dengan bantuan negara-negara Muslim dan Arab seperti Türkiye, Mesir, dan Qatar.

Reaksi dari para pejabat AS pun cepat dan keras.

“Kalau ini hanya manuver politik, itu sangat bodoh. Saya pribadi tersinggung,” ujar Wakil Presiden JD Vance soal waktu pengajuan rancangan undang-undang itu. Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio — pendukung setia Israel sejak lama — memperingatkan bahwa langkah tersebut bisa menggagalkan proses perdamaian Gaza.

Seorang pejabat senior AS bahkan menggunakan bahasa kasar untuk mengekspresikan kekecewaan pemerintahan Trump terhadap Israel.

Saat tekanan terhadap Israel meningkat, Netanyahu mencoba mengalihkan sorotan dengan mengklaim bahwa rancangan aneksasi itu adalah “provokasi” dari pihak oposisi.

Apakah Trump benar-benar serius?

Namun, apakah Netanyahu — yang baru-baru ini mengatakan Israel bukan “protektorat” AS dan dapat mengambil keputusan keamanannya sendiri — akan menganggap ancaman Trump serius?

“Ancaman itu sangat diperhatikan di sini,” kata Alon Liel, mantan Direktur Jenderal Kementerian Luar Negeri Israel. Ia menambahkan bahwa kelompok sayap kanan Israel tidak bisa memutuskan agenda aneksasi tanpa restu Washington.

Para politisi sayap kanan, termasuk beberapa menteri kabinet, telah lama mendorong agenda “Israel Raya” untuk mengambil alih seluruh wilayah Palestina, termasuk Tepi Barat dan Gaza.

Namun, Liel menegaskan bahwa “tanpa izin Amerika,” agenda sayap kanan Israel itu tidak bisa berjalan.

Menurutnya, peringatan Trump terhadap aneksasi “telah mencegah hal itu terjadi,” dan langkah ini dinilai krusial untuk menjaga stabilitas serta peluang perdamaian antara Israel dan Palestina, ujarnya kepada TRT World.

Namun, mengingat sejarah hubungan AS–Israel dan karakter Trump yang sulit ditebak, penulis sekaligus analis politik Palestina Kamel Hawwash meragukan seberapa kuat bobot ancaman tersebut.

Bahasanya memang terdengar lebih keras terhadap Israel dalam sepekan terakhir, katanya, tetapi ia “belum yakin” Trump akan menepati ucapannya.

Meski berhasil menengahi gencatan senjata Gaza dan menandatangani kesepakatan di KTT perdamaian di Sharm el-Sheikh, Mesir, Trump masih menghindari pembahasan soal negara Palestina — sesuatu yang dianggap pemimpin Muslim dan Arab sebagai syarat utama bagi perdamaian permanen.

“Ke mana arah ini akan berujung masih belum jelas,” kata Hawwash kepada TRT World, merujuk pada gencatan senjata dan rencana perdamaian Gaza 21 poin yang digagas Trump.

Meski kini terlihat menentang, Trump sebelumnya justru mendukung rencana aneksasi Tepi Barat Israel, menurut surat rahasia yang bocor pada 2022.

Beberapa pengamat menilai tekanan Trump terhadap Netanyahu juga dipicu oleh serangan Israel ke ibu kota Qatar, Doha, pada September lalu, yang menargetkan para negosiator Hamas. Serangan itu mengejutkan dunia dan membuat Trump serta lingkaran dekatnya — termasuk menantu Jared Kushner dan utusan perdamaian Steve Witkoff, keduanya warga AS keturunan Yahudi — sangat marah.

Dalam wawancara 60 Minutes, Kushner dan Witkoff mengatakan bahwa serangan ke Qatar memperkuat pandangan di Washington bahwa Israel “sudah di luar kendali.”

Hawwash menilai tekanan Trump bisa jadi bertujuan mengekang pemerintah Netanyahu. Begitu kuatnya hingga dalam kunjungan ke AS pada akhir September, Netanyahu dipaksa menelpon Perdana Menteri Qatar Mohammed bin Abdulrahman Al Thani untuk meminta maaf atas serangan udara ke Doha.

“Serangan ke Qatar adalah titik balik bagi Trump… ia menyadari bahwa jika Israel berani menyerang negara yang justru membantu mengakhiri perang Gaza, maka mereka telah melampaui batas,” ujar Hawwash, menyinggung kecenderungan pemerintahan Netanyahu bertindak tanpa kendali moral.

Zaha Hassan, pengacara hak asasi manusia dan peneliti senior di Carnegie Endowment for International Peace, mengaitkan ancaman Trump terhadap Netanyahu dengan kunjungan Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman yang akan datang. Washington disebut berupaya membujuk Riyadh untuk menormalkan hubungan dengan Israel lewat kesepakatan Abraham Accords 2020.

Pekan lalu, Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich mencabut ucapannya yang menghina Saudi, setelah sebelumnya mengatakan bahwa Israel sebaiknya menolak tawaran normalisasi Riyadh dan “biarkan mereka tetap menunggang unta di padang pasir.”

Namun, menurut Hassan, Saudi kecil kemungkinan akan menormalkan hubungan dengan Israel saat ini.

Seberapa jauh Israel akan melangkah?

Para analis menilai tindakan Netanyahu selama dua tahun terakhir didorong oleh keinginannya mempertahankan kekuasaan, yang sangat bergantung pada dukungan kelompok sayap kanan.

Selain menghadapi sidang korupsi, popularitas Netanyahu juga merosot akibat cara ia menangani perang Gaza, terutama terkait sandera.

Untuk saat ini, Netanyahu bisa menunda atau mencari celah untuk menunda pemungutan suara aneksasi, kata Hawwash, tetapi kelompok sayap kanan “tidak berpikir dengan logika negara demokratis.”

“Mereka berpikir berdasarkan visi kitab suci yang mereka yakini, di mana hukum internasional tidak berlaku bagi Israel,” ujarnya.

Meski Netanyahu menunda pembahasan aneksasi di tengah tekanan Trump, semua menteri dari partai Likud — yang dipimpinnya — sempat mendesak pada awal tahun agar segera mencaplok wilayah Yudea dan Samaria, nama biblis untuk Tepi Barat.

Hassan menilai rancangan aneksasi itu kemungkinan tetap akan berlanjut di Knesset karena mendapat dukungan luas dari anggota parlemen Israel. Netanyahu menahannya untuk sementara karena menghadapi “tekanan ekstrem” dari pemerintahan AS, katanya.

Namun, tekanan itu tidak berarti Washington kembali mendukung solusi dua negara yang sebelumnya ditinggalkan Trump. Saat Perdana Menteri Inggris Keir Starmer menyinggung hal itu di Gedung Putih, Trump justru menyatakan tidak sependapat dengan pengakuan Inggris atas negara Palestina.

Pada Juni lalu, Duta Besar AS untuk Israel Mike Huckabee juga menyebut bahwa Washington tidak lagi mengejar solusi dua negara.

Melihat pernyataan-pernyataan itu, Hassan menilai bahwa “jika Israel benar-benar menganeksasi Tepi Barat sekarang, hal itu tidak akan terlalu menyimpang dari posisi AS saat ini.”

Namun, ia menambahkan, AS — bersama sekutu Barat dan negara-negara Muslim Arab — juga memahami bahwa langkah aneksasi sekarang bisa menggagalkan gencatan senjata Gaza, sesuatu yang tidak diinginkan Trump.

Hawwash sependapat, menekankan bahwa meski ada tekanan dari kelompok sayap kanan Israel untuk melakukan sabotase termasuk lewat aneksasi, AS tidak ingin konflik kembali pecah.

“AS akan mulai menyadari bahwa Israel bahkan tidak bertindak demi kepentingannya sendiri — dan Trump mungkin akan berusaha membuat mereka sadar akan hal itu,” ujarnya.

SUMBER:TRT World