KTT ke-12 Organisation of Turkic States (OTS) pekan lalu berfokus pada tema “Perdamaian dan Keamanan Regional.”
Namun bagi banyak pihak, pesan paling berkesan dari pertemuan para pemimpin negara Turkic itu mungkin bukan soal keamanan sama sekali.
Melainkan tentang huruf.
Presiden Turkiye, Recep Tayyip Erdogan, menghadiahkan dua buku kepada para pemimpin lain — satu berisi karya penulis legendaris asal Kirgistan, Chingiz Aytmatov, dan satu lagi diambil dari Oguznames, kisah silsilah bangsa-bangsa Turkic. Kedua buku itu dicetak menggunakan Alfabet Turkic Bersama yang baru diusulkan dan terdiri dari 34 huruf.
Sebuah isyarat simbolik yang sarat makna politik, budaya, dan teknologi.
Upaya untuk menciptakan aksara bersama bagi penutur bahasa Turkic sebenarnya bukan hal baru.
Gagasan ini telah muncul hampir satu abad lalu, sejak Kongres Turkologi Pertama di Baku tahun 1926, ketika para cendekiawan dan pejabat mulai membahas ide alfabet berbasis Latin.
Proyek itu terhenti di bawah pemerintahan Soviet, ketika republik-republik Turkic dipaksa memakai aksara Sirilik.
Namun setelah Uni Soviet bubar pada 1991, aspirasi tersebut kembali menguat.
Kini, di bawah payung kelembagaan OTS, inisiatif ini menemukan momentum baru.
Pada September 2024, Komisi Alfabet Turkic Bersama bertemu di Azerbaijan dan menyepakati sistem 34 huruf yang dirancang untuk menghormati keragaman fonetik antarbahasa Turkic sekaligus memudahkan literasi lintas negara.
Asisten profesor Basak Kuzakci, pakar studi budaya Turkic dari Universitas Marmara di Istanbul, menjelaskan makna panjang dari upaya ini.
“Isu tentang alfabet bersama telah menjadi cita-cita yang kita pikirkan selama beberapa generasi,” ujarnya kepada TRT World.
“Mewujudkan kesatuan alfabet bukan sekadar soal teknis, tapi pendekatan budaya. Jika seorang pelajar Turkiye dapat dengan mudah membaca teks dalam bahasa Kazakh, Kirgiz, atau Uzbek, maka sekat-sekat mental yang memisahkan kita akan mulai melebur.”
Namun, Kuzakci menambahkan bahwa tantangan masih ada.
“Pekerjaan ini membutuhkan perencanaan ilmiah yang cermat dan koordinasi kuat antarnegara. Perbedaan fonetik antara bahasa-bahasa Turkic harus diatasi… sistem 34 huruf itu juga harus tetap fleksibel agar dapat menjaga keunikan bunyi tiap bahasa.”
“Keberhasilan alfabet bersama bergantung pada cara kita memandang proses ini bukan sebagai ‘pemaksaan’, melainkan ‘penyelarasan’. Kami melihatnya sebagai jembatan budaya — yang menghormati identitas tiap negara, memudahkan komunikasi, dan memungkinkan berbagai dialek tumbuh dari akar yang sama.”
Alfabet bertemu teknologi
Para pendukung inisiatif ini menilai bahwa alfabet bersama bukan hanya soal pelestarian budaya, tapi juga relevansi digital.
Standarisasi, menurut mereka, akan membuat bahasa-bahasa Turkic lebih mudah digunakan dalam basis data, perangkat lunak, dan sistem kecerdasan buatan.
“Alfabet bersama akan mendekatkan bahasa-bahasa Turkic di ranah digital, dari basis data hingga model pelatihan AI,” tambah Kuzakci.
“Itu menciptakan ruang kompatibilitas yang luas. Di era kecerdasan buatan, bahasa bukan sekadar budaya — melainkan infrastruktur.”
Aspek teknologi inilah yang membuat inisiatif tersebut terasa relevan, di tengah investasi besar negara-negara besar dunia dalam teknologi bahasa berbasis AI.
Bagi negara-negara Turkic, penyatuan aksara menjadi cara agar suara mereka tidak tenggelam di era digital.
Profesor Yasar Sari, pakar hubungan internasional dan ahli Eurasia dari Universitas Ibn Haldun, menyoroti akar historis dari proyek ini.
“Isu alfabet telah menjadi salah satu perdebatan paling awal dan konsisten di dunia Turkic,” katanya kepada TRT World.
“Sejak 1990-an, para ahli sudah mencapai konsensus tentang sistem 34 huruf. Makna politiknya baru muncul belakangan, ketika Akademi Turkic Internasional mengumumkan adanya kesepakatan resmi,” ujarnya.
Ia juga menekankan makna simbolik dari gestur Presiden Erdogan di kota Qabala — atau Gebele — di Azerbaijan utara, tempat KTT OTS digelar.
“Dengan menerbitkan buku tentang Chingiz Aytmatov, yang memberi suara bagi emosi kolektif bangsa Turkic, dan Oguznames, yang menjadi tulang punggung genealogis identitas Turkic, Turkiye membuat karya-karya itu dapat dibaca lintas batas,” tambahnya.
“Itu membuka pintu untuk berbicara bukan hanya kepada satu bangsa, tapi kepada komunitas yang lebih luas. Dalam jangka panjang, ini akan membantu masyarakat Turkic membangun kerangka intelektual bersama,” ujarnya.
Pada pertemuan Dewan Turkiye di Antalya tahun 1993, diputuskan untuk menambahkan huruf seperti ‘Q, X, W, Ñ, Ä’ sebagai standar umum dalam alfabet Turkic.
Dalam beberapa tahun terakhir, proses ini kemudian dilembagakan di bawah kerangka OTS.
Komisi Alfabet Turkic Bersama yang bersidang di Azerbaijan pada 9–11 September 2024 akhirnya mencapai kesepakatan tentang sistem 34 huruf.
Alfabet ini menyesuaikan perbedaan fonetik antar dialek, namun tetap mencari harmoni berdasarkan struktur suku kata.
Dengan demikian, tujuan alfabet bersama yang disuarakan di KTT terbaru ini berdiri di atas hampir satu abad sejarah dan warisan budaya yang mendalam.
Harmoni budaya
Profesor Sari menegaskan bahwa pertemuan di Gebele menandai salah satu langkah paling nyata sejak OTS secara resmi mengadopsi nama barunya pada 2021.
“Meski memiliki sistem pemerintahan dan pandangan politik yang berbeda, negara-negara anggota kini menemukan titik temu. Nilai bersama yang paling mendasar adalah identitas, dan unsur terpenting dari identitas adalah bahasa,” jelasnya.
Dorongan untuk menciptakan alfabet bersama juga mencakup upaya agar tanggal 15 Desember diakui secara internasional sebagai ‘Hari Bahasa Keluarga Turkic Sedunia’.
Langkah tersebut tidak hanya menginstitusionalisasi kesatuan linguistik di dunia Turkic, tapi juga mengangkatnya ke panggung global.
Dengan demikian, Gebele mungkin akan dikenang bukan hanya karena deklarasi tentang perdamaian dan keamanan, tetapi juga karena meletakkan fondasi arsitektur budaya dan digital baru.
“Ketika sebuah gagasan diwujudkan dalam tindakan, ia menciptakan peta pikir bersama. Itulah makna sejati dari alfabet bersama — bukan sekadar melestarikan masa lalu, tapi membentuk masa depan bersama,” kata Kuzakci.
Pada akhirnya, alfabet bersama bukan sekadar reformasi linguistik; ia adalah jembatan menuju masa depan dengan kesatuan dan kemajuan bersama.
Dengan mengubah mimpi seabad menjadi kebijakan nyata, negara-negara Turkic menegaskan bahwa mereka siap menulis babak baru dalam kisah mereka — di mana budaya, teknologi, dan identitas saling bertautan.
“Dalam jangka panjang, saya percaya bahwa adopsi alfabet bersama akan memungkinkan masyarakat Turkic berpikir bersama, mengembangkan kerangka intelektual kolektif, dan menumbuhkan kesadaran bersama,” tutup Profesor Sari.