Gencatan senjata yang lemah telah menghentikan sementara kehancuran yang disebabkan oleh Israel di Gaza, memberikan jeda kemanusiaan sementara. Namun, dinamika mendasar seperti pendudukan, blokade, dan ketidakpastian mengenai pembangunan kembali Gaza serta kedaulatannya tetap tidak berubah.
Dalam konteks ini, gelombang negara-negara Barat — termasuk Inggris, Prancis, Kanada, dan Portugal — secara resmi mengakui Palestina bulan lalu, sehingga totalnya menjadi 157 negara. Meski secara simbolis penting, pengakuan ini tidak dapat mengubah gencatan senjata menjadi kedaulatan sejati tanpa penegakan konkret atau tekanan politik.
Tonggak sejarah ini hampir tidak berarti karena kontrol de facto Israel atas wilayah yang diduduki sejak 1967 dan pertanyaan yang belum terjawab tentang masa depan Gaza, termasuk rekonstruksi dan realisasi kedaulatan Palestina.
Meskipun gencatan senjata memberikan sedikit kelegaan, bantuan kemanusiaan, rekonstruksi terbatas, dan jeda kekerasan, hal ini tidak membongkar struktur yang membuat kedaulatan sejati menjadi mustahil.
Mengapa negara-negara Barat baru-baru ini mengakui Palestina? Setelah puluhan tahun ketidakpedulian, gelombang pengakuan ini mencerminkan meningkatnya tekanan internasional dan kemarahan domestik atas kehancuran di Gaza.
Perjalanan diplomatik ini dimulai dengan Deklarasi Kemerdekaan Palestina tahun 1988, diikuti oleh tonggak sejarah seperti Perjanjian Oslo 1993 — yang akhirnya gagal mewujudkan solusi dua negara — dan pemungutan suara PBB tahun 2012 yang memberikan status "negara pengamat non-anggota" kepada Palestina. Meski langkah-langkah ini meningkatkan identitas hukum internasional Palestina, mereka gagal menghentikan kekerasan atau memberikan kedaulatan nyata.
Perdana Menteri Inggris Keir Starmer menyatakan bulan lalu bahwa pengakuan bertujuan "untuk menjaga kemungkinan perdamaian dan solusi dua negara tetap hidup." Namun, pengakuan ini sebagian besar tetap simbolis, sebuah isyarat yang menenangkan publik domestik tanpa menantang pendudukan Israel dan krisis struktural Gaza.
Pengakuan atau gencatan senjata saja tidak cukup untuk mencapai kedaulatan nyata dalam sistem hukum internasional yang tidak memiliki mekanisme sanksi yang mengikat. Sebaliknya, ini mengungkapkan paradoks dalam diplomasi Barat: solidaritas simbolis tanpa konsekuensi politik.
Makna dan batasan pengakuan
Dalam hukum internasional, pengakuan adalah tindakan politik yang mendalam, bukan tongkat ajaib. Dua teori membingkai perdebatan ini: teori konstitutif, yang menyatakan bahwa pengakuan oleh negara lain menciptakan entitas hukum; dan teori deklaratif, yang tertuang dalam Konvensi Montevideo 1933, yang mendefinisikan negara berdasarkan empat kriteria: populasi permanen, wilayah yang ditentukan, pemerintahan, dan kapasitas untuk menjalin hubungan dengan negara lain.
Menurut pendekatan deklaratif, pengakuan bukanlah prasyarat untuk menjadi negara tetapi pernyataan tentang realitas yang ada. Keempat elemen yang tercantum dalam Konvensi bersama-sama menyiratkan keberadaan otoritas berdaulat yang sejati. Pengakuan tidak menjamin kedaulatan; otoritas sejati membutuhkan kontrol atas wilayah, populasi, dan pemerintahan.
Gencatan senjata saat ini menegaskan kenyataan ini. Meskipun pertukaran sandera dan tahanan telah berlangsung, isu-isu paling sulit, seperti penarikan Israel, pemerintahan politik Gaza, dan rekonstruksi penuh, tetap belum terselesaikan.
Pengakuan belum mengakhiri pendudukan Israel di Tepi Barat, aneksasi Yerusalem Timur, atau blokade Gaza. Negara Palestina tidak memiliki kontrol efektif atas perbatasan, wilayah udara, atau sumber dayanya, yang merupakan ciri khas kedaulatan.
Agar pengakuan memiliki substansi, hal itu harus dipadukan dengan langkah-langkah konkret yang memanfaatkan gencatan senjata untuk memulihkan otoritas dan hak-hak Palestina. Tanpa sanksi terhadap Tel Aviv, tekanan politik, atau penegakan hukum internasional, pengakuan berisiko memperpetuasi ilusi daripada mencapai keadilan.
Negara-negara Barat sejauh ini gagal dalam ujian ketulusan ini. Tidak ada embargo senjata, sanksi ekonomi, atau inisiatif diplomatik di Yerusalem Timur yang diberlakukan sebagai tanggapan atas pelanggaran Israel. Pengakuan tetap simbolis: itu menandakan dukungan tanpa menuntut akuntabilitas.
Kelemahan struktural dalam sistem internasional
Perjuangan Palestina mengungkap kelemahan mendalam dalam sistem hukum internasional. Mekanisme penegakan tidak efektif terhadap aktor-aktor kuat.
Dewan Keamanan PBB terhambat oleh hak veto AS, yang mencegah tindakan bermakna. Palestina tetap menjadi pengamat non-anggota, dengan hak suara atau nominasi yang terbatas. Putusan ICJ dan ICC, termasuk keputusan tembok pemisah tahun 2004 dan opini penasehat 2024 yang menyatakan pendudukan Israel ilegal, tetap tidak ditegakkan.
Surat perintah penangkapan yang dikeluarkan oleh ICC terhadap pejabat Israel diabaikan oleh banyak negara, menggambarkan impotensi hukum internasional ketika berbenturan dengan kekuatan geopolitik.
Hukum internasional mewajibkan negara-negara untuk mengakhiri pelanggaran serius, namun dukungan Barat terhadap Israel merusak kewajiban ini. Hukum kekuasaan mengalahkan hukum legalitas, meninggalkan gencatan senjata sebagai jeda rapuh daripada jalan menuju keadilan.
Gencatan senjata saat ini dan gelombang pengakuan adalah signifikan tetapi terbatas. Ini memberikan peluang untuk mengubah isyarat simbolis menjadi perubahan nyata, tetapi untuk melakukannya diperlukan kemauan politik, sanksi, dan tindakan konkret.
Akankah Barat memanfaatkan momen ini untuk menempa jalan kedaulatan bagi Palestina, atau hanya mengelola pendudukannya yang terus berlanjut? Akankah retorika solusi dua negara, yang dikosongkan oleh pendudukan Israel yang terus berlangsung, didukung dengan tekanan nyata untuk membuat gencatan senjata bermakna?
Pengakuan penting karena dapat mengaktifkan mekanisme akuntabilitas, namun tanpa tindak lanjut, hal itu berisiko menjadi sekadar performatif.
Di luar politik, gencatan senjata menyoroti realitas kemanusiaan: mengakhiri kelaparan dan penderitaan yang terus berlangsung di Gaza. Ini telah memungkinkan 173 truk bantuan masuk, tetapi ini hanya sebagian kecil dari kebutuhan 2,1 juta orang.
Dalam bayang-bayang pengakuan simbolis, komunitas internasional harus menghadapi kenyataan ini. Rakyat Palestina berhak atas hak-hak dasar yang sama seperti semua orang: perdamaian, kebebasan, dan penentuan nasib sendiri.