Opini
ASIA
5 menit membaca
Rohingya tidak butuh lebih banyak bantuan, mereka hanya ingin pulang
Dengan runtuhnya upaya bantuan di Cox’s Bazar, fokus kini bergeser dari sekadar bantuan jangka pendek menuju solusi permanen, seiring konferensi tingkat tinggi Majelis Umum PBB di New York yang akan mengangkat suara Rohingya dan mendorong repatriasi.
Rohingya tidak butuh lebih banyak bantuan, mereka hanya ingin pulang
Banyak warga Rohingya merasa dikecewakan oleh masyarakat internasional (AP). / AP
30 September 2025

Nasib etnis Rohingya telah menjadi salah satu krisis kemanusiaan paling lama sekaligus paling diabaikan di dunia.

Lebih dari satu juta orang Rohingya tanpa kewarganegaraan terjebak dalam “kamp sementara” di Cox’s Bazar selama enam tahun tanpa tanda-tanda adanya jalan keluar.

Namun, solusi untuk krisis Rohingya perlahan mulai terlihat bagi mereka yang mau mengakui kenyataan.

Dalam konferensi internasional tentang krisis Rohingya yang digelar di Bangladesh pada akhir Agustus, tampak adanya perubahan suasana dalam negosiasi.

Untuk pertama kalinya, pembahasan beralih dari sekadar aliran bantuan dan janji-janji, menuju fokus pada solusi permanen bagi rakyat Rohingya.

Runtuhnya pendanaan bantuan internasional, yang dipicu oleh krisis mendadak USAID, membawa dampak besar bagi mereka di Cox’s Bazar.

Awal tahun ini, Presiden AS Donald Trump melakukan perombakan besar pada bantuan luar negeri dengan memangkas kontribusi ke PBB dan melemahkan secara signifikan peran Badan Pembangunan Internasional AS (USAID).

Pemerintahannya berdalih pemotongan itu untuk penghematan biaya, sambil mengalihkan dana guna memperluas penegakan hukum imigrasi di dalam negeri.

TerkaitTRT Indonesia - Delapan tahun setelah genosida, Rohingya masih belum memiliki jalan pulang

Pemotongan jatah makanan bulanan dari $12 menjadi $6 bagi pengungsi Rohingya membuat kebutuhan pokok sekalipun sulit dijangkau.

Situasi ini menegaskan satu hal: bantuan sementara tidak bisa menggantikan kebutuhan akan solusi politik yang langgeng.

Pentingnya suara Rohingya

Negara-negara kaya tidak bisa lagi hanya menulis cek untuk menangani krisis kemanusiaan di negara tuan rumah.

Kegagalan menemukan solusi permanen tidak hanya mengecewakan rakyat Rohingya dan Bangladesh, tetapi juga melemahkan gagasan tanggung jawab kemanusiaan bersama.

Perubahan nada dalam konferensi itu bukan hanya dipicu oleh kekurangan bantuan, melainkan juga karena adanya hal baru: untuk pertama kalinya, suara Rohingya hadir di meja perundingan.

Pesan mereka jelas: janji bantuan tambahan tidak ada gunanya. Satu-satunya cara mengakhiri penderitaan Rohingya adalah dengan kembali ke Rakhine, tanah asal mereka yang sah.

Visi baru bagi masa depan Rohingya kini menjadi kebutuhan sekaligus sesuatu yang mungkin diwujudkan.

Pada Selasa ini, Majelis Umum PBB di New York akan menggelar konferensi tingkat tinggi mengenai situasi Muslim Rohingya.

Kesempatan ini tidak boleh disia-siakan untuk mendorong solusi jangka panjang bagi rakyat Rohingya.

Langkah logis pertama adalah membentuk komisi permanen yang melibatkan semua pihak utama: Rohingya sendiri, Bangladesh, Myanmar, China, Amerika Serikat, serta UNHRC.

Diskusi tidak boleh berhenti setelah konferensi PBB; perundingan harus berlanjut.

Komisi ini dapat menetapkan tenggat waktu yang mengikat secara hukum untuk repatriasi Rohingya, dengan syarat yang jelas: bebas dari penganiayaan, kebebasan beragama, akses pekerjaan, serta jaminan keterlibatan lembaga bantuan. UNHRC harus memantau syarat maupun tenggat tersebut.

Selain itu, perlu dibentuk koridor pembangunan tanpa militer di Rakhine.

Koridor ini dapat menarik investasi internasional untuk mempekerjakan baik Rohingya maupun masyarakat lokal.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, seperti yang pernah dilakukan pasca-apartheid di Afrika Selatan, bisa memulai proses membangun kembali kepercayaan antar komunitas.

Namun pada akhirnya, keberhasilan komisi tersebut sangat bergantung pada keseimbangan kekuatan antara AS dan China.

Dalam konteks saat ini, hal itu akan menjadi pencapaian besar. Tapi kepentingan bersama bisa mendorong kedua pihak duduk di meja perundingan; stabilitas Rakhine melindungi investasi China dalam Belt and Road Initiative.

Siapa yang diuntungkan dari solusi jangka panjang?

Keberhasilan repatriasi akan memperkuat citra Trump sebagai “pembawa damai” sekaligus negosiator ulung.

Bangladesh, negara asal penulis artikel ini, telah lama menanggung beban krisis kemanusiaan ini, namun kondisi ini tidak bisa berlanjut selamanya.

Kami sendiri tengah berjuang menghadapi ketidakstabilan ekonomi dan politik pascarevolusi 2024. Dengan mengecilnya bantuan internasional, mendukung kamp di Cox’s Bazar bukanlah solusi jangka panjang bagi negara kami.

Namun ada pula keuntungan politik bagi pihak lain. Bagi China, berlarut-larutnya instabilitas di Rakhine hanya akan memicu tantangan keamanan di perbatasannya.

Myanmar sendiri penting secara strategis bagi proyek BRI, khususnya Koridor Ekonomi China-Myanmar.

Secara politik, menyelesaikan krisis ini bisa memberi China narasi tandingan terhadap kritik Barat atas isu HAM, sekaligus mengangkat citranya sebagai otoritas moral baru di dunia.

Bagi Trump, mendukung repatriasi jangka panjang Rohingya bisa menjadi kesempatan lain untuk menunjukkan kepemimpinan, setelah keterlibatannya yang terbatas dalam negosiasi perdamaian di Ukraina dan Gaza.

Hal ini juga dapat memberikan legitimasi pada gagasan bahwa seni bernegosiasi bisa menjadi alternatif nyata dari model bantuan sementara USAID yang ditolak pemerintahannya.

Sementara bagi junta Myanmar—State Administration Council (SAC)—berpartisipasi aktif di panggung dunia dapat membantu mengubah citra dari pariah internasional menjadi otoritas sah.

Ini bisa menjadi alasan untuk menolak sanksi ekonomi baru atau mengurangi sanksi yang ada, sekaligus mempererat hubungan diplomatik dan ekonomi dengan AS, China, serta Bangladesh.

Dengan kata lain, ini bukan permainan politik zero-sum.

Perlahan tapi pasti

Tujuan utama haruslah repatriasi sukarela dan bertahap bagi pengungsi Rohingya, dengan jaminan perlindungan internasional dari penganiayaan.

Repatriasi juga harus dibarengi insentif pembangunan bagi komunitas di Rakhine, agar kepulangan Rohingya dipandang sebagai peluang, bukan beban.

Proses ini bisa berjalan lambat. Namun kemajuan kecil tetap lebih baik daripada stagnasi tanpa akhir.

Repatriasi yang terkelola secara bertahap akan memungkinkan integrasi budaya berjalan mulus, bukan dengan kejutan mendadak.

Masyarakat dan otoritas Myanmar pun dapat melihat bahwa repatriasi memang memungkinkan, sementara Rohingya bisa menyadari bahwa pulang ke tanah asal bukan sekadar mimpi.

Meski krisis kemanusiaan di Sudan, Ukraina, dan Gaza kerap menutupi isu Rohingya, keberhasilan solusi multilateral untuk mereka bisa membuktikan bahwa kerja sama internasional masih mampu mengatasi kompleksitas dan mencapai resolusi.

Jika kekuatan regional dan internasional dapat bersatu untuk memecah kebuntuan di perbatasan Bangladesh, mereka mungkin terdorong melakukan hal serupa di belahan dunia lain.

SUMBER:TRT World