Menyusuri Istanbul di Bulan Ramadan: Eyupsultan
TÜRKİYE
6 menit membaca
Menyusuri Istanbul di Bulan Ramadan: EyupsultanDi Eyupsultan, Ramadan adalah kenangan hidup yang dirajut dengan kekhusyukan, tawa, dan wangi mawar. Di sini, ikatan antara Eyup al-Ansari dan Nabi masih terasa.
"Ramadhan adalah berbagi... Setiap cahaya yang bersinar di Eyupsultan menerangi hati dengan harapan." / TRT World
27 Maret 2025

Menghadap Selat Bosphorus dari tepi Golden Horn, Masjid Eyup Sultan berdiri sebagai salah satu landmark paling dihormati di Istanbul. Malam ini, pada malam Lailatul Qadar, salah satu malam paling suci di bulan Ramadan, saatnya untuk menghidupkan kembali legenda di balik keajaiban arsitektur ini.

Sebelum para jamaah memenuhi masjid dan makamnya yang harum mawar menyambut para pengunjung, ada sebuah mimpi. Dibangun pada tahun 1458, lokasi masjid ini ditentukan berdasarkan visi yang dilihat oleh Aksemseddin, mentor Sultan Mehmed II, menjadikannya struktur makam pertama dalam arsitektur Istanbul.

Menarik ribuan pengunjung setiap tahun, masjid ini tetap menjadi tempat ibadah aktif sambil memikat pengunjung dengan sejarahnya yang kaya dan arsitekturnya yang menakjubkan. Di bawah kubah-kubah bercahaya Masjid Eyup Sultan, denyut jantung Istanbul berdetak serempak. Para jamaah datang berbondong-bondong—ada yang membawa tasbih, ada pula yang membawa harapan dalam doa-doa mereka. Bersama-sama, mereka melaksanakan salat Tarawih, memohon ampunan, rahmat ilahi, dan kedekatan dengan Allah pada malam Lailatul Qadar.

Dihormati sebagai malam ketika Al-Quran pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril, Lailatul Qadar dianggap sebagai malam paling suci di bulan Ramadan. Umat Muslim menghabiskan malam ini dalam ibadah, memohon ampunan dan berkah. Pada malam ini, Masjid Eyup Sultan bersinar—bukan hanya oleh cahaya, tetapi juga oleh sejarah dan cerita-cerita.

“Saya sudah tinggal di Istanbul selama sepuluh tahun,” kata Abdurrahman Abdul Mujeeb, seorang mahasiswa asal Sri Lanka berusia 23 tahun. “Tapi ini pertama kalinya saya salat Tarawih gaya Enderun. Itu sangat emosional,” ujarnya kepada TRT World.

Di dekatnya, Eussuv Al-Fayyadh bin Mohd Fauzi, 24 tahun, dari Malaysia, tersenyum. “Saya datang ke sini setiap minggu, tetapi selama Ramadan, rasanya berbeda. Orang-orang tetap tinggal setelah salat. Rasanya seperti keluarga,” katanya.

Tidak ada tempat di kota ini yang terasa lebih sakral daripada di Eyup Sultan. Masjid ini dikelilingi oleh pohon-pohon cemara yang menjulang tinggi dan sebuah pemakaman. Berjalan di sini selama Ramadan seperti melangkah ke dalam doa yang telah berlangsung berabad-abad.

Dari makam megah Abu Ayyub al-Ansari hingga makam-makam yang lebih tenang dari para penyair, wali, dan negarawan seperti Sokollu Mehmed Pasha dan Mehmed IV, setiap sudutnya berbisik tentang pengabdian.

Jika Anda pernah berada di Istanbul selama Ramadan, ikuti aroma mawar. Duduklah di bawah pohon-pohon besar yang menjulang. Saksikan lentera-lentera bergoyang di angin malam. Biarkan doa-doa dari berabad-abad yang lalu menyelimuti Anda, seperti selendang.

Masjid yang lahir dari kenangan

Menurut sejarawan dan penulis kronik Ottoman terkemuka seperti Tursun Bey dan Ashikpasazade, tempat peristirahatan Abu Ayyub al-Ansari—salah satu sahabat terdekat Nabi Muhammad—hilang setelah pengepungan Arab di Konstantinopel pada abad ke-7. Tempat itu tetap tersembunyi hingga tahun 1453, ketika Sultan Mehmed II menaklukkan kota tersebut dan berusaha untuk mengukuhkan kekuasaannya secara spiritual.

Sebuah visi membimbing mentornya, Aksemseddin, ke lokasi sebuah makam yang diyakini milik Abu Ayyub. Dalam beberapa tahun, Masjid Eyup Sultan berdiri di sekitarnya. Selesai dibangun pada tahun 1458, masjid ini menjadi struktur keagamaan besar pertama di era Ottoman—bukan hanya sebagai tanda penaklukan, tetapi juga kesinambungan.

Namun, hubungan antara Nabi Muhammad dan Abu Ayyub al-Ansari lebih dalam daripada sekadar penaklukan. Ketika Nabi berhijrah ke Madinah selama Hijrah, Abu Ayyub-lah yang menyambutnya di rumahnya—bukan hanya sebagai tamu, tetapi sebagai keluarga. Nabi tinggal di sana selama tujuh bulan, memilihnya di atas rumah-rumah lain karena untanya, yang dipandu oleh kehendak ilahi, berhenti di depan rumah Abu Ayyub.

Keramahan suci inilah yang membuat Abu Ayyub tetap dicintai—bukan hanya sebagai pejuang iman, tetapi sebagai tuan rumah Nabi.

Hingga hari ini, makamnya di Eyup dibasuh dengan air mawar—sebuah tindakan penghormatan dan kelembutan. Aroma yang tersisa di halaman selama Ramadan lebih dari sekadar tradisi; itu adalah gema dari persahabatan suci yang pernah membentuk sejarah Islam.

Di sini, di tengah bisikan doa dan aroma pengabdian yang mekar, kenangan tentang rumah pertama di Madinah diam-diam tetap ada.

Kenangan bertemu dengan pengabdian

Pada malam Lailatul Qadr, halaman Eyupsultan bersinar dengan urgensi spiritual. Di bawah lentera yang bergoyang, beberapa mencari kesunyian dalam doa, sementara yang lain berkumpul bersama keluarga, mewariskan kisah-kisah sambil menikmati simit hangat dan tegukan air mawar.

Gang-gang sempit, yang dulunya menjadi rumah bagi balai pertemuan Utsmaniyah seperti Feshane, berbisik dengan langkah-langkah kaki yang tenang. Para peziarah datang dari setiap sudut kota. Dari Bukit Pierre Loti, Istanbul menyaksikan dengan khidmat.

Saat matahari tenggelam di balik tujuh bukit Istanbul, momen sebelum iftar terasa hampir suci.

Sebuah dentuman meriam terdengar di kejauhan. Percakapan pun terhenti.

Tangan-tangan menyodorkan kurma, bibir berbisik doa, dan halaman masjid berubah menjadi mozaik kenangan—anak-anak dengan kostum Ramadan, para orang tua dengan tasbih di tangan, serta para pendatang yang menyerap setiap momen.

Di antara mereka, seorang bocah lokal berkata sederhana, "Terawih itu menyenangkan. Aku pergi bersama ayah setiap malam. Rasanya seperti Idulfitri."

Iftar Tanpa Batas

Pada malam 12 Maret, di Bahariye Mevlevihanesi—sebuah pondok sufi abad ke-19 yang tersembunyi di Eyupsultan—Ramadan menyatukan komunitas Muslim internasional Istanbul di bawah satu atap.

Muhammad Tahiri, seorang penggiat komunitas yang berdedikasi, memulai iftar bersama ini pada tahun 2018 untuk mendukung para perantau yang sering menjalani bulan suci jauh dari keluarga dan tanah air mereka.

"Kami ingin membuat semua orang merasa memiliki," ujarnya kepada TRT World.

Tujuh tahun kemudian, ide kecil itu telah berkembang pesat. Tahun ini, menu iftar mencakup hidangan Uighur, kopi Suriah, dan makanan penutup Palestina—setiap suapan menjadi jembatan antara komunitas. "Malam ini, 350 orang datang. Ini lebih dari sekadar makanan—ini tentang solidaritas," tambah Tahiri.

Perjamuan terbesar mereka, yang pernah diadakan di halaman Masjid Suleymaniye, pernah menampung lebih dari seribu orang.

"Jika cuaca memungkinkan," harap Tahiri, "kami akan kembali ke sana sebelum Ramadan berakhir."

Untuk kenangan di masa depan

Pada malam 23 Maret, setelah salat tarawih, halaman Masjid Zal Mahmut Pasha dipenuhi dengan tawa riang anak-anak. Malam itu diwarnai dengan nyanyian, cerita, dan keajaiban yang hanya bisa dirasakan di masa kecil.

Anak-anak menikmati sherbet manis, memainkan wayang bayangan Karagöz & Hacivat, dan tertawa riang saat bermain tarik tambang.

Diselenggarakan oleh ESONDER (Önder Imam Hatipliler Derneği), festival “Keceriaan Ramadan Bersama Si Kecil” menghadirkan kembali kehangatan dan semangat kebersamaan Ramadan seperti dulu.

Menurut pernyataan asosiasi tersebut, acara ini dirancang agar begitu berkesan dan penuh kegembiraan sehingga, di masa depan, ketika anak-anak berkata, “Di mana Ramadhan di masa lalu?” (Nerede eski Ramazanlar?), malam ini akan menjadi salah satu kenangan pertama yang terlintas dalam pikiran mereka.

SUMBER:TRT World