Panen pistachio Aleppo: Petani Suriah kembali ke ladang yang dulu porak-poranda akibat perang
DUNIA
6 menit membaca
Panen pistachio Aleppo: Petani Suriah kembali ke ladang yang dulu porak-poranda akibat perangSetelah tumbangnya pemerintahan Bashar al-Assad, para petani Suriah mulai kembali ke kebun pistachio yang lama ditinggalkan selama bertahun-tahun konflik dan penyitaan oleh negara.
Pistachio Aleppo hasil panen baru dijemur di bawah terik matahari Suriah di Morek, yang dulu menjadi pusat perdagangan “emas merah”.
14 jam yang lalu

Morek, Suriah — Abu Mohammed ragu-ragu sebelum melangkah ke tanahnya untuk pertama kali dalam sepuluh tahun. Petani berusia 67 tahun itu khawatir pohon-pohon pistachio miliknya tak lagi mengenali tangan yang dulu menanam mereka dengan penuh kasih — tangan yang terpaksa pergi saat perang saudara antara rezim Bashar al-Assad dan kelompok oposisi pecah pada 2011 dan melanda wilayah utara Suriah.

“Aku takut mereka sudah terbiasa dengan orang asing,” ujarnya kepada TRT World sambil menyentuh lembut ranting-ranting pohon yang memperlihatkan bekas luka akibat diabaikan dan dibakar — kebakaran yang, menurutnya, disengaja oleh tentara rezim Suriah di lahan milik warga yang menentang mereka dan harus melarikan diri. “Aku meninggalkan segalanya. Tak ada pilihan, tetap di tengah tembakan atau pergi dengan harapan bisa kembali suatu hari nanti.”

Setelah melarikan diri dari desanya, Abu Mohammed menetap di provinsi Idlib, yang saat itu dikuasai oleh kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS).

Kisah Abu Mohammed mencerminkan ribuan petani pistachio Suriah lain yang mulai kembali ke kebun mereka setelah tumbangnya pemerintahan Bashar al-Assad pada Desember 2024. Namun yang mereka temukan hanyalah ladang yang berubah menjadi abu setelah 14 tahun konflik.

Sebelum 2011, Suriah menempati peringkat keempat dunia dalam produksi pistachio, menghasilkan lebih dari 63.000 ton per tahun dari 9 juta pohon yang tersebar di lahan seluas 59.000 hektare.

Tanaman yang dijuluki “emas merah” ini banyak tumbuh di wilayah subur dari pedesaan Hama bagian utara hingga Idlib dan Aleppo. Kota Morek di Hama tengah bahkan dijuluki “perbendaharaan pistachio” karena perannya sebagai pusat perdagangan utama.

Kini, produksi pistachio di Suriah telah merosot lebih dari separuhnya.

Penyitaan dan lelang oleh pemerintah

Kehancuran bukan hanya disebabkan oleh perang, tetapi juga kebijakan sistematis rezim Assad yang menelanjangi mata pencaharian petani. Saat keluarga-keluarga melarikan diri dari pertempuran, otoritas Suriah mengklasifikasikan kebun yang ditinggalkan sebagai “peluang investasi” dan menjualnya melalui lelang publik kepada pembeli yang memiliki koneksi politik.

Abdul Razzaq Mohammed, 62 tahun, kembali dan mendapati tanahnya di Hama telah termasuk di antara ribuan hektare lahan yang dilelang oleh otoritas lokal pada 2015.

“Aku merasa lebih tercekik daripada saat pertama kali pergi,” kenangnya. “Dulu aku masih hidup dengan harapan bisa kembali. Tapi saat itu aku sadar tanahku benar-benar hilang untuk pertama kalinya.”

Lelang-lelang tersebut menjadi strategi rezim Assad untuk memberi hadiah kepada para loyalis dengan aset pertanian berharga, sekaligus menghukum warga yang melarikan diri dari wilayah oposisi.

Menurut sumber dari Kementerian Pertanian Suriah, sekitar seperempat wilayah penghasil pistachio di negara itu — sekitar 170.000 hektare — rusak, terbengkalai, atau disita selama konflik.

Abu Hassan, 55 tahun, petani lain yang kembali, mengenang saat ia melihat pohon-pohonnya terbakar sebelum melarikan diri ke provinsi Idlib. Lahan miliknya kemudian dilelang pada 2018, dengan hasil penjualan mengalir ke badan keamanan dan pihak-pihak berpengaruh di Hama, menurut keterangan warga setempat.

“Tanahku di pedesaan Hama adalah yang pertama terkena serangan dan bentrokan,” ujarnya dengan suara bergetar. “Ketika melihat pohon-pohonku terbakar, aku menangis. Aku merasa tak akan pernah kembali lagi. Saat itulah perjalanan pengungsian ke Idlib dimulai, dan aku baru kembali setelah rezim tumbang.”

Dengan mata berkaca-kaca, ia melanjutkan bahwa tanahnya secara sepihak dinyatakan “terlantar”, lalu disita oleh aparat keamanan rezim lama, dan hasil panennya diserahkan ke pihak-pihak berpengaruh di Hama.

Abu Hassan masih menceritakan kisahnya dengan kesedihan mendalam, seolah meratapi orang yang dicintai. “Aku berdiri di tanahku sendiri, tapi rasanya aku masih di tenda pengungsian. Tanah ini lelah dan butuh perawatan, sementara aku tak mampu menanggung biayanya. Kami butuh dukungan dari pemerintah baru untuk bangkit lagi.”

Di tengah proses pemulihan yang rapuh ini, muncul kepemimpinan baru Suriah. Negara kini dipimpin oleh Presiden Ahmed al-Sharaa — mantan pemimpin Hayat Tahrir al-Sham yang kini dikenal sebagai tokoh visioner dalam rekonstruksi dan kebangkitan sektor pertanian.

Pemerintah baru menempatkan rekonstruksi ekonomi sebagai prioritas utama, menandatangani kesepakatan investasi bernilai miliaran dolar untuk membangun kembali infrastruktur, energi, dan perdagangan — upaya yang juga diharapkan mendorong pertanian dan ekspor.

Berjalan di samping kakeknya, Abdul Razzaq, bocah 12 tahun bernama Ahmed melangkah penuh semangat di kebun pistachio, bertekad menunjukkan bahwa dirinya kini bagian dari generasi penerus petani keluarga.

Lahir di tahun-tahun awal konflik, Ahmed tumbuh besar di pengungsian, hanya mengenal tanah kelahirannya lewat cerita-cerita keluarganya.

“Aku ingin hidup di sini selamanya,” kata Ahmed polos, lalu menambahkan, “tapi aku takut perang datang lagi, dan kami harus pergi lagi.”

Kehadiran Ahmed menjadi simbol kesinambungan sekaligus rapuhnya harapan — generasi yang mewarisi bukan hanya keterampilan bertani, tetapi juga trauma dan ketidakpastian masa depan Suriah.

Ekonomi pemulihan

Insinyur pertanian Abdul Aziz Othman memperkirakan sekitar 40 persen pohon pistachio rusak akibat konflik. Biaya pupuk dan pestisida kini berlipat ganda karena sanksi ekonomi, membuatnya di luar jangkauan banyak petani. Jaringan irigasi pun hancur akibat serangan artileri, sementara hama menyebar tanpa kendali di kebun yang lama terbengkalai.

“Kembalinya para petani berarti siklus kehidupan belum sepenuhnya terputus,” kata Othman. “Tapi tanpa dukungan nyata pemerintah dan insentif ekspor, pistachio Suriah akan tetap terkungkung di pasar lokal dan tak mampu merebut kembali posisinya di dunia.”

Dalam beberapa tahun terakhir, permintaan global terhadap pistachio meningkat pesat — didorong oleh tren seperti demam cokelat pistachio di Dubai serta maraknya kue, latte, dan gelato beraroma pistachio — yang kembali menyoroti pentingnya komoditas unggulan Suriah ini. Selain nilai ekonominya, pistachio juga telah lama menjadi bagian dari tradisi kuliner Suriah: digunakan sebagai hiasan untuk muhallebi, lapisan dalam baklava, hingga campuran es krim dan puding.

Namun di pasar kuno Morek, pedagang Mustafa Al Settouf menyaksikan perubahan besar itu langsung. Kota yang dulu ramai oleh perdagangan pistachio mendadak sunyi selama bertahun-tahun konflik.

“Morek, yang dulu jantung perdagangan pistachio, menjadi kota sepi dalam beberapa tahun terakhir — tak ada ekspor, tak ada penjualan nyata,” katanya dengan nada getir. “Petani terpaksa menjual hasil panen mereka dengan harga murah. Tapi kini, setelah rezim tumbang, kehidupan mulai kembali perlahan. Jumlah panen memang belum banyak, tapi pasar lokal mulai terbuka lagi.”

Nasib industri pistachio Suriah melampaui sekadar statistik pertanian. Bagi keluarga seperti Abu Mohammed, kebun itu adalah kenangan lintas generasi, sumber penghidupan, dan ikatan nyata dengan tanah air yang terkoyak perang.

Pohon-pohon pistachio itu sendiri seakan menceritakan kisah Suriah: sebagian terbakar, sebagian dicuri, dan banyak yang berjuang menghasilkan buah setelah bertahun-tahun tanpa perawatan. Namun di antara batang dan ranting yang rusak itu, tumbuh pula tanda-tanda harapan baru — saat para petani seperti Abu Mohammed kembali merawat tanahnya dengan penuh harap.

“Ini bukan hanya tentang pistachio,” ujar seorang petani yang enggan disebutkan namanya. “Ini tentang apakah kami bisa membangun kembali apa yang telah dihancurkan perang — apakah tanah ini bisa memaafkan kepergian kami.”

Saat Suriah memasuki era pasca-Assad, panen pistachio menjadi ujian nyata bagi upaya rekonstruksi. Para petani yang kembali kini dihadapkan bukan hanya pada tantangan memperbaiki kebun yang rusak, tetapi juga pada pertanyaan lebih dalam: bisakah masyarakat Suriah menyembuhkan luka akibat pengungsian, penyitaan, dan kehilangan?

Untuk saat ini, petani seperti Abu Mohammed terus bekerja setiap hari, berusaha menumbuhkan kehidupan dari tanah yang penuh luka — berharap musim panen kali ini bukan hanya tanda pulihnya pertanian, tetapi juga awal dari pemulihan yang lebih mendasar: hubungan antara manusia dan tanah yang mereka sebut rumah.

Artikel ini diterbitkan bekerja sama dengan Egab.

SUMBER:TRT World