Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan pemerintah tidak akan mengubah aturan mengenai batas defisit maupun rasio utang negara. Hal itu disampaikan di tengah pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keuangan Negara yang masuk dalam daftar prioritas Program Legislasi Nasional 2025.
Purbaya memastikan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tetap mengikuti ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Regulasi tersebut mengatur batas defisit maksimal 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan rasio utang publik tidak boleh lebih dari 60 persen dari PDB.
“Jika kebijakan yang kita ambil berdampak positif pada perekonomian, maka pertumbuhan akan meningkat dan penerimaan pajak ikut naik. Jadi tidak perlu ada perubahan undang-undang untuk menaikkan defisit maupun batas utang,” kata Purbaya dalam konferensi pers, pada Jumat.
Batasan arbitrer
Meski menegaskan aturan tidak diubah, Purbaya menilai angka 3 persen defisit dan 60 persen rasio utang lebih bersifat arbitrer. Menurutnya, indikator tersebut muncul dari praktik di negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa.
“Secara teori, angka itu dimaksudkan untuk melihat apakah suatu negara mampu membayar utangnya. Jadi yang dinilai adalah kemampuan membayar, bukan semata-mata angka tersebut,” ujarnya.
Pernyataan ini muncul sepekan setelah Purbaya ditunjuk menggantikan Sri Mulyani Indrawati, yang dicopot dari jabatan menteri keuangan. Pergantian mendadak tersebut sempat memicu kegelisahan investor, terlebih di saat Bank Indonesia mengejutkan pasar dengan memangkas suku bunga di tengah gejolak protes yang meluas sejak akhir Agustus.
Rupiah sempat melemah ke level terendah dalam empat bulan terakhir, namun Purbaya berusaha meyakinkan pasar dengan menyebut kondisi fiskal Indonesia masih lebih baik dibanding sejumlah negara lain.
Komisi XI DPR RI telah memasukkan RUU Keuangan Negara sebagai prioritas pembahasan di Prolegnas 2025. Salah satu agenda di dalamnya adalah pembahasan program pengampunan pajak dan obligasi patriotik (patriot bond) sebagai instrumen baru untuk memperluas basis penerimaan negara.