DPR RI kembali mengambil langkah signifikan pada hari Kamis untuk menyetujui anggaran negara 2026 yang lebih besar daripada proposal awal yang diajukan oleh Presiden Prabowo Subianto, meningkatkan total belanja dan perkiraan defisit fiskal.
Panel Pengawasan Fiskal DPR mendukung alokasi belanja sebesar 3.842,7 triliun rupiah ($233 miliar) dengan defisit fiskal yang diproyeksikan sebesar 2,68 persen dari PDB, diumumkan oleh Ketuanya, Said Abdullah.
Angka ini melebihi usulan Prabowo pada bulan Agustus sebesar 56,2 triliun rupiah dan hampir 9 persen lebih tinggi dari perkiraan belanja pada tahun 2025. Pendapatan ditargetkan sebesar 3.153,6 triliun rupiah, sedikit di atas rancangan pemerintah dan sekitar 10 persen lebih tinggi dari perkiraan tahun ini.
Revisi RAPBN ini muncul di saat yang sensitif bagi pasar keuangan. Protes anti-pemerintah yang meletus sejak Agustus, ditambah dengan pemecatan mendadak Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pekan lalu, telah memicu kekhawatiran investor tentang disiplin fiskal. Sri Mulyani telah menyusun proposal awal Prabowo sebelum digantikan.
Menteri Keuangan yang baru, Purbaya Yudhi Sadewa, membela prospek defisit yang lebih luas, menekankan bahwa angka tersebut masih di bawah batas amanat undang-undang sebesar 3%.
"Angka tersebut masih di bawah 3% (dari PDB) dan diperlukan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Jangan khawatir, kami akan berhati-hati," ujarnya.
Dewan dijadwalkan mengadakan pemungutan suara yang lebih luas pada 23 September, dengan persetujuan yang sangat diharapkan mengingat dominasi koalisi Prabowo. Untuk tahun 2026, presiden telah menetapkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4%, dan berencana untuk meningkatkannya menjadi 8% pada akhir masa jabatannya 2024–2029.
Para ekonom mengatakan ruang fiskal yang lebih luas dapat memberikan momentum bagi pemerintah. Victor Matindas, seorang ekonom di BCA berpendapat bahwa Jakarta memanfaatkan peluang ini sementara Federal Reserve AS mempertahankan kebijakan yang longgar hingga awal 2026.
Namun, yang lain memperingatkan agar tidak terlalu bergantung pada utang. "Indonesia harus menemukan cara untuk meningkatkan pendapatan dari sumber non-pajak, alih-alih bergantung pada penerbitan obligasi," kata ekonom Universitas Indonesia, Telisa Falianty.
