Keputusan China untuk secara sukarela melepaskan status negara berkembang di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mendapat sambutan positif dari banyak negara di dunia.
Namun ada pengecualian: Amerika Serikat. Washington menyebut langkah itu sebagai “sudah waktunya”, mengingat status teknis tersebut telah membantu Beijing menambah lebih dari 17 triliun dolar AS pada PDB-nya sehingga kini menjadi ekonomi terbesar kedua dunia dalam kurun 23 tahun.
Perdana Menteri China Li Qiang pada 24 September mengumumkan bahwa negaranya tidak lagi akan menuntut “perlakuan khusus dan berbeda” yang biasanya diberikan bagi negara berkembang dalam perjanjian perdagangan di WTO.
Negara-negara industri maju seperti AS dan Jepang dikategorikan sebagai negara maju. Sementara sisanya, tempat tinggal 84 persen populasi dunia, disebut negara berkembang.
Pernyataan pejabat nomor dua China itu menimbulkan dua pertanyaan: Apa arti dari pelepasan status negara berkembang, dan mengapa Beijing memilih melakukannya sekarang?
Keuntungan status ‘negara berkembang’
WTO berdiri pada 1 Januari 1995 dan dipandang sebagai “reformasi terbesar perdagangan internasional” sejak Perang Dunia II.
Badan global ini dibentuk pasca runtuhnya Uni Soviet, memberi ruang bagi negara anggota menggunakan perdagangan bebas sebagai alat menciptakan lapangan kerja dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Namun pembukaan perdagangan global secara mendadak berpotensi menghantam negara miskin. Produk murah dari AS atau Jerman, misalnya, bisa membanjiri pasar negara berkembang, menghancurkan manufaktur lokal dan industri yang masih merintis.
Karena itu, perjanjian WTO memberi kelonggaran bagi negara berkembang seperti China, yang resmi bergabung pada 2001, untuk tidak langsung membuka ekonominya.
Di sisi lain, kesepakatan tersebut memungkinkan Beijing mengekspor barang ke negara maju tanpa banyak hambatan seperti kuota dan tarif.
Periode transisi yang panjang memberi waktu bagi China membangun kapasitas industri, menciptakan pekerjaan, dan mengentaskan kemiskinan sebelum bersaing dengan produk asing.
Label negara berkembang juga membuat China terbebas dari kewajiban menyumbang pada dana krisis iklim global, meski selama ini menjadi penghasil polusi industri terbesar dunia.
Kini, China yang ekonominya hampir 19 triliun dolar AS—naik dari 1,3 triliun dolar saat bergabung WTO—sudah melampaui AS dan Uni Eropa dalam volume ekspor barang dan jasa.
Mengapa sekarang?
AS sejak lama menuntut China berhenti menggunakan status negara berkembang untuk mendapat konsesi khusus di sistem perdagangan global. Washington beralasan ukuran ekonomi Beijing sudah tidak sebanding lagi dengan label tersebut.
Mantan Presiden Donald Trump berulang kali mengkritik China karena memanfaatkan status itu untuk meraih “keuntungan luar biasa” yang merugikan industri AS.
Namun Beijing tetap menegaskan masih layak disebut negara berkembang, dengan alasan pendapatan per kapita yang relatif rendah. Rata-rata pendapatan warga AS masih enam kali lipat lebih tinggi dibanding warga China, meski pertumbuhan ekonomi China pesat dalam empat dekade terakhir.
Menurut duta besar China untuk WTO, Li Yihong, pelepasan status itu merupakan “keputusan sendiri” Beijing. Ia menegaskan China akan “selalu menjadi negara berkembang”, meski tak lagi menuntut manfaat dari label tersebut di WTO.
Selain alasan teknis, ada pula faktor geopolitik. Status negara berkembang selama ini mendukung ambisi strategis China untuk memimpin negara-negara Selatan Global yang menentang tatanan dunia dominasi AS.
Sejak menjabat Januari lalu, pemerintahan Trump menggunakan tarif sebagai senjata ekonomi tidak hanya terhadap rival seperti Rusia, tapi juga sekutu seperti India dan Kanada, dengan alasan mengurangi defisit perdagangan dan membentuk ulang rantai pasok global.
Tanpa menyebut AS, pejabat Kementerian Perdagangan China menyatakan keputusan Beijing itu bertujuan memperkuat sistem perdagangan global di tengah ancaman perang tarif dan proteksionisme yang dilakukan “negara tertentu” untuk membatasi impor.