Baru-baru ini, penulis Jepang Rie Kudan menerima salah satu penghargaan sastra paling bergengsi di negaranya. Ia kemudian mengaku bahwa kecerdasan buatan turut membantunya menulis buku tersebut.
“Saya berencana terus memanfaatkan keunggulan kecerdasan buatan dalam novel-novel saya, sambil tetap membiarkan kreativitas saya berkembang,” ujarnya.
Dalam konferensi pers, Kudan mengungkapkan sekitar 5 persen bukunya secara verbatim dihasilkan oleh mesin. Ironisnya, bagian itulah yang dinilai juri “nyaris sempurna.”
Ia bukan yang pertama—dan kemungkinan besar bukan yang terakhir—menggunakan jaringan saraf untuk “menciptakan” karya seni.
Tahun lalu, fotografer Berlin Boris Eldagsen menolak Penghargaan Fotografi Sony World yang prestisius setelah foto karyanya yang menang ternyata dibuat oleh kecerdasan buatan. “AI bukan fotografi. Karena itu saya tidak bisa menerima penghargaan ini,” katanya.
Tentang kepengarangan
Dalam membicarakan buku, muncul pertanyaan: “Siapa pengarangnya?” Sekilas terdengar aneh, apalagi bila nama penulis jelas tercetak di sampul. Namun, membongkar pertanyaan ini justru membuka lapisan-lapisannya.
Proses penerbitan selalu melibatkan “pena tak terlihat” penerbit, mulai dari tahap pemilihan tema, penyuntingan, hingga penyempurnaan naskah. Dengan begitu, penerbit sudah bisa dianggap sebagai “co-author.”
Ada pula pengaruh kebijakan subjektif rumah penerbitan. Bahkan klaim objektivitas akademis atau kebebasan pers pun punya batasan—aturan format, gaya, dan istilah tertentu seringkali membatasi ruang gerak penulis.
Selain itu, “pena tak terlihat” penerbit juga dikendalikan “tangan tak terlihat” pasar. Baik-buruknya sebuah karya kerap diukur dari penjualan. Sesuatu yang tidak laku dianggap tidak berkualitas.
Internet pun bukan jalan keluar. Alih-alih kebebasan, penulis justru kerap menghadapi larangan, shadowban, hingga pemblokiran akun.
Dengan begitu, bila AI membuat teks lebih laris dan mudah diterima, penggunaannya akan terus meluas. Kreativitas manusia semakin terpinggirkan.
Tuhan mengajarkan Adam bahasa
Selain faktor eksternal, ada juga faktor internal: teks sebagai mosaik kutipan. Setiap karya, entah buku, film, atau acara televisi, adalah rangkaian referensi dan alusi yang sudah ada sebelumnya.
Gaya, format, hingga visual ikut menyampaikan makna. Melihat seseorang berseragam tentara atau memakai stetoskop, kita langsung bisa menarik kesimpulan. Tanda luar memberi bobot pada makna dalam.
Namun, di era media, narasi bisa dipelintir. Misalnya, imigran Muslim sering digambarkan sebagai teroris—sebuah “serigala berbulu domba.”
Begitu pula AI: ia belajar dari data yang sudah ada. Maka intertekstualitas pun berubah wajah. AI kini menjadi penggerak besar dalam dunia produksi ulang narasi.
“Tuhan mengajarkan Adam bahasa. Manusia mengajarkan mesin,” demikian ironi zaman ini. Namun, alih-alih spiritualitas, yang berkembang justru obsesi pada diri—selfie, belanja tak henti, dan deifikasi tubuh.
Penggantian besar yang baru
Matahari mungkin terbit di timur, tapi ia terbenam di Silicon Valley. Dari sanalah OpenAI, pencipta ChatGPT yang digunakan Kudan, berasal. Kolonisasi pikiran kini memasuki tahap penggantian total: hegemoni budaya bergeser ke hegemoni mesin.
Tahun lalu, sejumlah penulis menggugat OpenAI karena menggunakan karya berhak cipta untuk melatih sistemnya. Ribuan lainnya menandatangani surat terbuka menuntut persetujuan dan kompensasi.
Tak heran kamus Merriam-Webster menobatkan “authentic” sebagai kata tahun 2023. Keaslian kini dipertanyakan, kabur oleh algoritme dan “fakta alternatif.”
Kamus Cambridge dan Collins bahkan mencatat kata terkait AI seperti “deepfake.” Meski kualitasnya belum sempurna, tren ini cepat viral—seperti video palsu Kanselir Jerman Olaf Scholz, atau politikus Inggris yang menjadi korban.
Membunuh samurai
Penghargaan yang dimenangkan Kudan adalah Hadiah Akutagawa, yang sejak 1935 membawa nama Ryunosuke Akutagawa, penulis klasik Jepang. Karyanya In the Thicket menjadi dasar film legendaris Rashomon karya Akira Kurosawa.
Cerita itu mengisahkan pembunuhan seorang samurai, dengan tujuh kesaksian kontradiktif tanpa jawaban pasti. Sang penulis tak pernah mengungkap pelaku. Pembaca dipaksa menutup cerita dengan interpretasi mereka sendiri.
Kini, kasus Kudan seperti bentuk seppuku—bunuh diri literer yang dilakukan pengarang terhadap dirinya sendiri. Ia menulis sekaligus tidak menulis. Ia ada sekaligus tiada. Namun, ia tetap memenangkan penghargaan.
Atau mungkin, suatu hari, justru ditolak. Untuk sementara.