Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Agustus 2025 tercatat Rp321,6 triliun, setara 1,35 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini mencerminkan tantangan pemerintah dalam menjaga stabilitas fiskal di tengah penurunan penerimaan negara dan kebutuhan belanja yang meningkat.
Kementerian Keuangan melaporkan pendapatan negara pada periode Januari–Agustus mencapai Rp1.639 triliun, turun 7,8 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Di sisi lain, belanja negara naik 1,5 persen menjadi Rp1.960 triliun.
Percepatan belanja untuk dorong ekonomi
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa percepatan belanja pemerintah menjadi kunci agar target pertumbuhan ekonomi 2025 sebesar 5,2 persen tercapai. “Kita perlu mempercepat realisasi belanja pemerintah sampai akhir tahun agar target yang ditetapkan bisa tercapai,” kata Purbaya, Senin (22/9), dikutip dari Reuters.
Sejumlah program stimulus telah digelontorkan untuk menjaga daya beli masyarakat, antara lain bantuan beras, insentif pajak, serta penciptaan lapangan kerja sementara di proyek infrastruktur. Pemerintah juga memindahkan lebih dari US$12 miliar dana negara dari bank sentral ke bank umum guna meningkatkan penyaluran kredit, termasuk bagi koperasi.
Tantangan fiskal dan kepercayaan pasar
Meski pertumbuhan ekonomi kuartal II mencapai 5,12 persen, tertinggi sejak 2023, sejumlah ekonom mengingatkan adanya risiko pelemahan akibat konsumsi domestik yang melambat serta penurunan perdagangan global.
Nilai tukar rupiah juga menjadi perhatian. Sepanjang 2025, rupiah tercatat melemah sekitar 3 persen terhadap dolar AS, menjadikannya salah satu mata uang dengan kinerja terlemah di Asia. Kondisi ini dipengaruhi kekhawatiran pasar terhadap kesehatan fiskal Indonesia dan independensi kebijakan moneter.
Pemerintah kini tengah mengkaji insentif berbasis pasar agar masyarakat menempatkan simpanan dolar AS di dalam negeri untuk memperkuat pembiayaan proyek nasional. Sementara itu, Bank Indonesia baru-baru ini kembali memangkas suku bunga acuan guna mendukung pertumbuhan, meski langkah ini dinilai sebagian kalangan dapat memicu keraguan investor terkait disiplin fiskal pemerintah.